ORANG-ORANG WALDENSES
- 4.
Di
tengah-tengah kegelapan yang menutupi dunia ini selama supremasi kekuasaan
kepausan, terang kebenaran tidak dapat seluruhnya dipadamkan. Ada saksi-saksi
Allah pada setiap zaman -- orang-orang yang memelihara imannya pada Kristus
sebagai satu-satunya pengantara antara Allah dan manusia, yang berpegang pada
Alkitab sebagai satu-satunya pedoman hidup, dan yang menguduskan hari Sabat
yang benar. Generasi berikutnya tidak akan pernah tahu betapa
besar dunia ini berhutang kepada orang-orang ini. Mereka di cap sebagai
orang-orang bida'ah (penganut aliran yang bertentangan dengan aliran resmi),
yang memegang kepercayaan yang keliru. Motif mereka diragukan, tabiat mereka di
fitnah, tulisan-tulisan mereka di kekang, disalah-artikan, atau dirusakkan.
Namun mereka tetap berdiri teguh, dan sepanjang zaman mereka mempertahankan
kemurnian iman mereka, sebagai warisan suci bagi generasi yang akan datang.
Sejarah umat Allah selama zaman-zaman
kegelapan yang mengikuti supremasi kekuasaan Romawi, telah dituliskan di surga,
tetapi hanya sedikit dalam catatan sejarah manusia. Hanya sedikit catatan
keberadaan mereka yang bisa didapatkan, kecuali dalam hal tuduhan-tuduhan para
penganiaya mereka. Adalah kebijakan Roma
untuk menghilangkan setiap perbedaan pendapat mengenai ajaran-ajaran atau
dekrit-dekritnya. Setiap yang menyimpang, apakah manusia atau tulisan, harus
dibinasakan. Pernyataan keragu-raguan atau yang mempertanyakan kekuasaan dogma
kepausan, telah cukup alasan untuk membinasakan nyawa orang kaya atau miskin,
bangsawan atau rakyat jelata. Roma juga berusaha untuk membinasakan setiap
catatan mengenai kekejamannya terhadap orang-orang yang mengingkari
kekuasaannya. Konsili-konsili kepausan mengeluarkan dekrit agar semua buku-buku
dan tulisan-tulisan yang berisi catatan-catatan seperti itu harus di
bakar. Sebelum alat-alat cetak
ditemukan, terdapat hanya sedikit buku-buku, dan dalam bentuk yang tidak tahan
lama di simpan. itulah sebabnya penganut-penganut agama Romawi hanya mengalami
sedikit hambatan dalam melaksanakan maksud-maksud mereka.
Tak satupun gereja yang berada dalam
kekuasaan Romawi yang, tanpa di ganggu, bisa menikmati kebebasan hati
nuraninya. Segera setelah kepausan memperoleh kekuasaan, ia menghancurkan semua yang menolak mengakui
jalan-jalannya. Dan
satu per satu gereja itu tunduk kepada pemerintahan dan kekuasaannya.
Di Britania Raya
(Inggeris) telah sejak lama berakar Kekristenan primitif. Kabar Injil yang di
terima orang-orang Briton pada abad-abad pertama tidak dicemarkan oleh
kemurtadan Roma. Penganiayaan yang dilakukan oleh kaisar-kaisar kafir, yang
mencapai tempat jauh ini, adalah
satu-satunya pemberian yang di terima oleh gereja-gereja Britania dari Roma.
Banyak orang-orang Kristen yang melarikan diri dari penganiayaan di Inggeris
dan berlindung di Skotlandia. Dari sini kebenaran itu telah
di bawa ke Irlandia, dan di semua negeri kabar Injil itu telah di terima dengan
sukacita.
Pada waktu bangsa Saxon menyerang
Britania, maka kekafiran memperoleh kekuasaan. Para penakluk ini merasa dirinya
diremehkan kalau digurui oleh budak-budak mereka. Dan orang-orang Kristen telah
di paksa untuk mengundurkan diri ke gunung-gunung dan ke daerah-daerah
bersemak-semak. Namun terang yang tersembunyi untuk sementara, terus menyala.
Di Skotlandia, seabad kemudian, terang itu menyinarkan terang yang menerangi
negeri-negeri yang jauh. Dari Irlandia, muncullah Columba yang saleh dengan
teman-temannya, yang menghimpun orang-orang percaya di pulau terpencil, Iona.
Mereka membuat pulau ini menjadi pusat usaha pekabaran Injil. Salah seorang
dari evangelis dari pusat pekabaran Injil ini adalah pemelihara hari Sabat
menurut Alkitab, dan dengan demikian kebenaran ini telah diperkenalkan kepada
orang-orang. Sebuah sekolah telah didirikan di Iona, dari mana para misionaris
dikirimkan, bukan saja ke Skotlandia dan Inggeris, tetapi juga ke Jerman, ke
Swis dan bahkan ke Italia.
Akan tetapi Roma telah memusatkan
perhatiannya ke Britania dan memutuskan untuk menguasainya. Pada abad keenam,
misionarisnya menobatkan orang-orang kafir Saxon. Orang-orang barbar Saxon
kafir yang sombong ini menerima para misionaris Roma, dan mempengaruhi ribuan
orang untuk memeluk kepercayaan Romawi itu. Sementara pekerjaan itu maju, para
pemimpin kepausan bersama-sama dengan mereka yang telah ditobatkan menhadapi
orang-orang Kristen primitif. Tampaklah perbedaan yang menyolok. Orang Kristen
primitif adalah sederhana, rendah hati, berpegang pada Alkitab dalam tabiat,
pengajaran dan sikap, sementara para pemimpin kepausan bersama orang-orang
Saxon yang sombong ditandai dengan menganut ketakhyulan, kemegahan dan
kecongkakan kepausan. Utusan Roma meminta agar gereja-gereja Kristen
mengakui supremasi kekuasaan kepausan. Orang-orang Briton dengan rendah hati
menjawab bahwa mereka ingin mengasihi semua orang, tetapi paus tidak berhak
menguasai gereja, dan yang bisa mereka berikan kepadanya hanyalah sikap tunduk
yang berlaku bagi setiap pengikut Kristus. Berkali-kali mereka mengusahakan
agar orang-orang Kristen ini tunduk kepada kekuasaan Roma. Tetapi orang-orang
Kristen yang rendah hati itu, yang heran melihat kesombongan yang diperlihatkan
oleh para utusan paus, dengan tegas menjawab bahwa mereka tidak mengenal
pemimpin lain selain Kristus. Sekarang nyatalah roh kepausan yang sebenarnya.
Pemimpin-pemimpin Roma itu berkata, "Jikalau kamu tidak menerima
saudara-saudara yang membawa perdamaian kepadamu, maka kamu akan menerima musuh
yang membawa kepadamu peperangan. Jikalau kamu tidak mau bersatu dengan kami
untuk menunjukkan jalan kehidupan kepada orang-orang Saxon, maka kamu akan
menerima pukulan maut dari mereka."
--
D'Aubigne, "History of the Reformation in the Sixteenth
Century," b. 17, ch. 2. Ini
bukanlah gertak sambal. Peperangan, persekongkolan dan tipu muslihat telah
dilakukan terhadap saksi-saksi iman Alkitab ini, sampai Gereja Britania
dihancurkan atau dipaksa tunduk kepada kekuasaan paus.
Di
negeri-negeri di luar kekuasaan Roma, selama berabad-abad telah terdapat
kelompok-kelompok Kristen yang tetap hampir bebas seluruhnya dari kebejatan
kepausan. Mereka dikelilingi oleh kekafiran, dan dengan berlalunya zaman telah
dipengaruhi oleh kesalahan-kesalahan kekafiran tersebut. Tetapi mereka tetap menganggap Alkitab
sebagai satu-satunya ukuran iman, dan berpegang kepada banyak kebenarannya.
Orang-orang Kristen ini percaya keabadian hukum Allah dan memelihara hari Sabat
hukum yang keempat. Jemaat-jemaat yang memegang iman dan praktek
seperti ini terdapat di Afrika tengah dan di antara orang-orang Armenia di
Asia.
Tetapi dari antara mereka yang menolak
pelanggaran kekuasaan kepausan itu, orang-orang Waldenseslah yang berdiri
paling depan. Di negeri dimana kepausan telah memantapkan kedudukannya, maka
kepalsuannya dan kebejatannyalah yang paling di tentang. Selama berabad-abad
jemaat-jemaat di Piedmont mempertahankan kebebasan mereka. Tetapi waktunya
akhirnya tiba pada waktu Roma memaksa mereka menyerah. Setelah dengan sia-sia
berjuang melawan kekejaman Roma, para pemimpin jemaat ini dengan enggan
mengakui supremasi kekuasaan kepausan, kepada siapa nampaknya seluruh dunia
memberi pengakuan tanda takluk. Namun,
ada sebagian orang yang menolak patuh
kepada kekuasaan paus atau pejabat-pejabatnya. Mereka memutuskan untuk tetap
mempertahankan kesetiaannya kepada Allah, dan memelihara kemurnian dan
kesederhanaan iman mereka. Maka pemisahanpun terjadi. Mereka yang bergabung
pada iman yang dahulu, sekarang mengasingkan diri. Sebagian mereka meninggalkan
Alpen, negeri leluhur mereka, dan mengangkat panji-panji kebenaran di negeri
asing. Sebagian yang lain mengasingkan diri ke lembah-lembah sempit dan
celah-celah bukit terjal. Di tempat-tempat ini mereka memelihara kebebasan
mereka menyembah Allah.
Iman yang selama berabad-abad di pegang
dan diajarkan oleh orang-orang Kristen Waldenses sangat bertentangan dengan
doktrin palsu yang dikemukakan oleh Roma. Kepercayaan agama mereka di dapat
dari firman Allah yang tertulis, sistem Kekristenan yang benar. Tetapi
petani-petani yang rendah hati ini, di tempat pengasingan mereka yang
tersembunyi dan tertutup dari dunia luar, dan yang harus mengerjakan pekerjaan
mereka sehari-hari menggembalakan ternak dan memelihara kebun anggur, belum
sampai kepada kebenaran yang menentang dogma dan ajaran gereja yang murtad itu.
Iman mereka bukanlah iman yang baru saja di terima. Kepercayaan agama mereka
adalah warisan dari leluhur mereka. Mereka merasa puas dengan jemaat kerasulan
-- "iman yang telah disampaikan kepada orang kudus" ( Yudas 3).
"Jemaat di padang belantara," bukan hierarkhi yang dengan sombongnya
bertahta di ibu kota besar dunia, adalah jemaat Kristus yang benar, penjaga
kebenaran yang Allah suruh umat-Nya berikan kepada dunia ini.
Salah satu sebab utama yang menyebabkan
pemisahan jemaat yang benar dari Roma, ialah kebencian Roma kepada hari Sabat
Alkitab. Sebagaimana diberitahukan oleh nubuatan, kekuasaan kepausan
membuangkan kebenaran itu. Hukum Allah diinjak-injak, sementara tradisi dan
adat kebiasaan manusia ditinggikan. Gereja-gereja yang telah di bawah kekuasaan
kepausan dari mulanya telah di paksa untuk menghormati hari Minggu sebagai hari
kudus. Di tengah-tengah kesalahan dan takhyul yang merajalela itu, banyak yang
menjadi bingung, sementara mereka yang memelihara hari Sabat, mereka juga tidak
bekerja pada hari Minggu. Hal ini tidak memuaskan para pemimpin kepausan.
Mereka di tuntut bukan saja menyucikan hari Minggu, tetapi harus menajiskan
hari Sabat. Dan mereka akan mengumumkan dan mencaci-maki dengan bahasa yang
paling keras, mereka yang berani
menghormati hari Sabat. Hanya dengan melarika diri dari kekuasaan Roma saja
seseorang dapat menuruti hukum Allah di dalam kedamaian.
Orang-orang Waldenses adalah di antara
orang-orang Eropa yang pertama mendapat terjemahan Kitab Suci. (lihat
Lampiran). Beratus-ratus tahun sebelum
Pembaharuan (Reformasi), mereka memiliki Alkitab dalam naskah bahasa mereka
sendiri, mereka memiliki kebenran yang tidak dipalsukan, dan oleh karena ini
mereka menjadi sasaran kebencian dan penganiayaan. Mereka menyatakan Gereja
Roma sebagai Babilon murtad yang diwahyukan, dan meskipun nyawa mereka di ancam
bahaya mereka berdiri teguh menolak kebejatannya. Sementara itu, di bawah
tekanan penganiayaan yang berkepanjangan, beberapa orang berkompromi dalam iman
mereka, sedikit demi sedikit mereka menyerah dalam prinsip-prinsip mereka yang
jelas. Sebagian yang lain tetap berpegang teguh kepada kebenaran. Selama zaman
kegelapan dan kemurtadan, terdapatlah orang-orang Waldenses yang menyangkal
supremasi Roma, yang menolak penyembahan patung sebagai pemujaan terhadap
berhala, dan yang memelihara hari Sabat yang benar. Mereka
tetap mempertahankan iman mereka meskipun di bawah topan oposisi yang ganas.
Meskipun dilukai oleh tombak Savoyard dan dihanguskan oleh api Romawi, mereka
tetap berdiri tabah walaupun menghadapi marabahaya demi firman Allah dan
kehormatan-Nya.
Orang-orang Waldenses mendapatkan
persembunyian mereka di balik puncak gunung-gunung pertahanan yang tinggi --
yang sepanjang zaman menjadi perlindungan bagi orang-orang yang di aniaya dan
yang di tindas. Di sini terang kebenaran itu tetap bersinar di tengah-tengah
kegelapan Zaman Pertengahan. Di sini, selama seribu tahun, saksi-saksi
kebenaran mempertahankan iman yang mula-mula itu.
Allah telah menyediakan bagi umat-Nya
satu kaabah kebesaran yang dahsyat, sesuai dengan kebenaran yang sangat besar
yang dipercayakan kepada tanggungjawab mereka. Kepada mereka yang dipengasingan
yang setia, gunung-gunung itu adalah lambang kebenaran Yehovah yang tak terubahkan.
Mereka menunjukkan puncak-puncak gunung yang menjulang tinggi itu kepada
anak-anak mereka dalam kebesarannya yang tak berubah, dan membicarakan kepada
mereka mengenai Dia yang pada-Nya tidak ada keadaan berubah-ubah atau bayangan
perubahan, yang firman-Nya bertahan tetap seperti bukit-bukit yang kekal. Allah
telah meletakkan gunung-gunung dan memperlengkapinya dengan kekuatan. Tak ada
tangan yang mampu selain tangan Penguasa Tak Terbatas itu, yang dapat
memindahkannya dari tempatnya. Demikianlah juga Ia telah menetapkan hukum-Nya,
yang menjadi dasar pemerintahan-Nya di surga maupun di dunia ini. Tangan
manusia mungkin bisa menangkap sesamanya manusia dan membinasakan hidup
mereka; tetapi Tangan itu dapat mencabut
gunung-gunung itu dari dasarnya dan melemparkannya kedalam lautan, sebagimana
itu dapat mengubah satu perintah hukum Yehovah, atau menghapuskan salah satu
janji-janji-Nya kepada mereka yang melakukan kehendak-Nya. Dalam kesetiaan mereka kepda hukum-Nya,
hamba-hamba Allah haruslah seperti teguhnya bukit-bukit yang tidak berubah.
Gunung-gunung yang mengelilingi lembah
dibawahnya telah menjadi saksi kepada kuasa penciptaan Allah dan kepastian
perlindungan serta pemeliharaan-Nya yang tidak pernah gagal. Para musafir itu
belajar mencintai lambang diam kehadiran Yehovah. Mereka tidak mengeluh atas
kesulitan yang menimpa mereka. Mereka tidak pernah merasa kesepian di antara
gunung-gunung terpencil itu. Mereka berterimakasih kepada Allah oleh karena Dia
telah menyediakan bagi mereka suatu perlindungan dari angkara murka dan
kekejaman manusia. Mereka bersukacita dalam kebebasan mereka untuk berbakti
kepada-Nya. Sering, jika di kejar oleh musuh, kekuatan bukit-bukit itu terbukti
menjadi pertahanan yang pasti. Dari tebing-tebing yang sangat tinggi mereka
menyanyikan lagu-lagu pujian kepada Allah, dan pasukan tentera Roma tidak dapat
mendiamkan nyanyian ucapan syukur mereka itu.
Kesalehan para pengikut Kristus adalah
murni, sederhana dan bersemangat. Mereka menilai prinsip-prinsip kebenaran melebihi
nilai rumah, tanah, teman, kaum keluarga, bahkan hidup itu sendiri. Mereka
berusaha dengan sungguh-sungguh membuat prinsip ini berkesan dan tertanam di
dalam hati para pemuda. Sejak masa kanak-kanak para pemuda telah di beri
pelajaran Alkitab dan di ajar untuk menganggap suci tuntutan hukum Allah.
Alkitab jarang ada pada waktu itu; oleh sebab itu firman yang berharga itu
harus di taruh di dalam ingatan. Banyak dari antara mereka mampu menghafalkan
bagian-bagian dari Perjanjian Lama dan Perjjanjian Baru. Pemikiran tentang
Allah dihubungkan dengan pemandangan alam yang indah dan agung, dan dengan berkat-berkat sederhana kehidupan
sehari-hari. Anak-anak kecil belajar memandang Allah dengan rasa syukur sebagai
pemberi setiap karunia dan setiap penghiburan.
Orang-orang tua yang lemah lembut dan
penuh kasih sayang, mengasihi anak-anak mereka dengan bijaksana untuk
membiasakan diri merasa puas diri. Dihadapan mereka terbentang kehidupan yang
penuh dengan cobaan dan kesukaran, dan barangkali mati syahid. Mereka telah di
didik sejak kecil menanggung kesukaran, tunduk kepada penguasa, namun berpikir
dan bertindak bagi diri mereka sendiri. Sejak dini mereka telah di ajar untuk
memikul tanggungjawab, menjaga pembicaraan dan mengerti kebijaksanaan berdiam
diri. Satu perkataan yang ceroboh yang
terdengar oleh musuh dapat membahayakan bukan saja nyawa orang yang berbicara
itu, tetapi juga nyawa ratusan saudara-saudaranya. Karena sebagaimana serigala
mencari mangsanya, demikianlah musuh-musuh kebenaran mengejar mereka yang
berani menuntut kebebasan iman keagamaannya.
Orang-orang Waldenses telah mengorbankan
harta duniawi demi kebenaran, dan dengan kesabaran yang gigih mereka bekerja
untuk mendapatkan makanan mereka. Setiap
jengkal tanah yang bisa dikerjakan di antara gunung-gunung dikerjakan dengan
cermat. Lembah-lembah dan kaki-kaki bukit yang kurang subur telah di buat
memberikan hasil yang bertambah. Berhemat dan penyangkalan diri menjadi bagian
dari pendidikan yang diberikan kepada anak-anak sebagai warisan dari leluhur.
Kepada mereka diajarkan bahwa Allah merancang kehidupan untuk berdisiplin, dan kebutuhan mereka akan terpenuhi hanya
oleh usaha pribadi, oleh pemikiran dan perencanaan yang hati-hati, perhatian
dan iman. Proses itu memang menuntut kerja keras dan melelahkan, tetapi baik
dan menyehatkan, sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh manusia yang telah
jatuh dalam dosa, sebagai sebuah sekolah yang disediakan Allah untuk pelatihan
dan pengembangannya. Sementara pemuda itu di tempa tahan uji menghadapi kerja
keras dan kesulitan, budaya intelek juga tidak dilalaikan. Mereka di ajar bahwa
semua tenaga dan kekuatan mereka adalah milik Allah, dan bahwa semua harus
ditingkatkan dan dikembangkan untuk pelayanan-Nya.
Jemaat -jemaat Vandois, di dalam kemurniannya
dan kesederhanaannya, menyerupai jemaat-jemaat pada zaman rasul-rasul. Mereka
menolak supremasi kepausan dan penjabat-pejabat tingginya, dan mereka membuat
Alkitab sebagai satu-satunya kekuasaan tertinggi yang tidak dapat salah. Pendeta-pendeta mereka berbeda dengan imam-imam Roma yang megah bagaikan
raja. Mereka mengikuti teladan Tuhannya, yang "datang bukan untuk
dilayani, tetapi untuk melayani." Mereka memberi makan kawanan domba
Allah, menuntun mereka ke padang rumput yang hijau dan mata air hidup
firman-Nya yang kudus. Berbeda jauh dari keindahan dan kebesaran manusia yang
angkuh, orang-orang ini berkumpul bukan di dalam bangunan gereja yang megah atau katedral yang agung, tetapi
di bawah bayang-bayang bukit-bukit di lembah Alpine, atau pada waktu bahaya, di
tempat-tempat perlindungan di celah-celah bukit-bukit batu, untuk mendengarkan
firman kebenaran dari hamba-hamba Kristus. Para pendeta itu bukan hanya
mengkhotbahkan kabar Injil itu, tetapi mereka juga mengunjungi orang-orang
sakit, mengajar dan menguji pengetahuan agama pada anak-anak, menegur
kesalahan, berusaha menyelesaikan perselisihan dan memajukan keharmonisan dan
rasa persaudaraan. Pada waktu damai, mereka dibelanjai dengan pemberian
sukarela orang-orang. Tetapi seperti Rasul Paulus, si pembuat kemah itu,
masing-masing belajar cara-cara berdagang atau profesi lain oleh mana, bila
perlu, mereka menghidupi dirinya.
Para pemuda menerima pengajaran dari para
pendeta mereka. Alkitab dijadikan mata pelajaran utama, sementara perhatian
juga diberikan kepada cabang-cabang pengetahuan umum lainnya. Injil Matius dan
Yohanes dihafalkan dengan tulisan para rasul lainnya. Mereka juga dipekerjakan
untuk menyalin Alkitab. Sebagian naskah berisi seluruh Alkitab itu, sebagian
lagi hanya berisi pilihan-pilihan singkat, sebagian berisi keterangan ayat-ayat
yang diberikan oleh mereka yang mampu menjelaskan Alkitab itu. Dengan demikian
dimunculkanlah harta kebenaran yang telah lama disembunyikan oleh mereka yang
berusaha meninggikan dirinya di atas Allah.
Dengan sabar, dengan kerja keras yang tak
mengenal lelah, kadang-kadang di dalam gua-gua yang dalam dan gelap di dalam
tanah, yang diterangi hanya oleh obor, Alkitab itu telah di tulis ayat demi
ayat, fatsal demi fatsal. Demikianlah pekerjaan itu berjalan terus, kehendak
Allah yang telah dinyatakan itu bersinar terus seperti emas murni. Betapa
semakin bersinar, semakin terang dan semakin berkuasanya kehendak Allah itu
oleh karena mengalami pencobaan, hanya mereka yang terlibat langsung dalam pekerjaan
ini saja yang dapat mengetahuinya. Malaikat-malaikat dari surga mengelilingi
pekerja-pekerja yang setia ini.
Setan telah mendesak imam kepausan dan
pejabat-pejabat tingginya untuk mengubur Firman kebenaran itu di bawah sampah
kesalahan, kemurtadan dan ketakhyulan. Tetapi dengan cara yang paling
mengherankan firman itu telah terpelihara dengan murni sepanjang Zaman
Kegelapan. Firman itu tidak membawa cap manusia, tetapi meterai Allah. Manusia tidak jemu-jemunya
berusaha mengaburkan arti Alkitab yang sederhana dan jelas, dan membuatnya
bertentangan kepada kesaksian mereka sendiri. Tetapi seperti bahtera di atas
laut yang bergelombang besar, Firman Allah itu mengatasi badai yang
mengancamnya dengan kebinasaan. Sebagaimana tambang yang berisi emas dan perak
tersembunyi jauh di bawah permukaan tanah, demikianlah semua orang harus
menggali untuk mendapatkan kandungannya yang berharga. Demikianlah juga Alkitab
mengandung harta kebenaran yang akan dinyatakan hanya oleh mencarinya dengan
sungguh-sungguh, rendah hati serta dengan doa. Allah merancang Alkitab itu
sebagai buku pelajaran bagi semua umat manusia, pada masa kanak-kanak, pemuda
dan dewasa, dan untuk dipelajari sepanjang masa. Ia memberikan firman-Nya kepada manusia
sebagai penyataan diri-Nya sendiri. Setiap kebenaran baru yang terlihat adalah
pernyataan segar tabiat Pengarangnya. Mempelajari Alkitab adalah cara yang
ditetapkan ilahi untuk menghubungkan manusia itu lebih dekat kepada
Penciptanya, dan memberikan kepada mereka pengetahuan yang lebih jelas mengenai
kehendak-Nya. Alkitab itu adalah media komunikasi antara Allah dan manusia.
Sementara orang-orang Waldenses itu
menganggap bahwa takut akan Allah adalah permulaan kebijaksanaan, mereka juga
tidak buta terhadap pentingnya hubungan dengan dunia ini, dengan pengetahuan
mengenai manusia dan kehidupan yang aktif, di dalam memperluas pemikiran dan
mempercepat daya tangkap. Dari sekolah-sekolah mereka di pegunungan, beberapa
pemuda telah mereka kirim ke institusi pendidikan di kota-kota Perancis dan
Italia, dimana terdapat bidang-bidang studi, pemikiran dan pengamatan yang
lebih luas daripada dikampung halaman mereka di pegunungan Alpen. Pemuda-pemuda yang di kirim itu terbuka
kepada pencobaan. Mereka menyaksikan kejahatan dan kebejatan, menghadapi
agen-agen cerdik Setan yang membujuk mereka dengan bujukan yang paling halus
dan penipuan yang paling berbahaya. Tetapi pendidikan mereka sejak kecil telah
menjadi tabiat yang mempersiapkan mereka untuk menghadapi semua pencobaan ini.
Di sekolah-sekolah yang mereka masuki,
mereka tidak membuat persahabatan karib dengan siapapun. Jubah-jubah mereka
telah di buat sedemikian rupa sehingga dapat menyembunyikan harta yang paling
mahal -- naskah-naskah berharga Alkitab. Ini semua, adalah hasil kerja
berbulan-bulan dan bertahun-tahun,
mereka bawa bersama mereka, dan bilamana keadaan memungkinkan tanpa
menimbulkan kecurigaan, mereka dengan hati-hati meletakkan barang-barang itu di
jalan orang-orang yang hatinya tampaknya terbuka untuk menerima kebenaran. Dari
sejak pangkuan ibu, pemuda Waldenses telah di latih untuk maksud ini. Mereka
mengerti pekerjaan mereka dan melakukannya dengan setia. Orang-orang yang
bertobat kepada iman yang benar telah dimenangkan di institusi pendidikan ini,
dan sering prinsip-prinsipnya telah menyusup ke seluruh sekolah. Namun para
pemimpin kepausan tidak dapat menelusuri asal-usul apa yang mereka sebut
kemurtadan yang bejat atau bida'ah, meskipun dilakukan penyelidikan yang ketat.
Roh Kristus adalah roh pengabar Injil
(misionaris). Gerakan pertama hati yang
dibaharui adalah membawa orang-orang lain juga kepada Juru Selamat. Demikianlah
juga roh orang-orang Kristen Vaudois. Mereka merasa bahwa Allah meminta dari
mereka lebih dari sekedar memelihara kebenaran itu dalam kemurniannya di dalam
jemaat mereka, bahwa tanggungjawab yang sungguh-sungguh ditanggungkan kepada
mereka untuk memancarkan terangnya menyinari mereka yang berada di dalam
kegelapan. Dengan kuasa sangat hebat firman Allah, mereka berusaha mematahkan rantai
perbudakan yang dilakukan oleh Roma. Pendeta-pendeta Vaudois telah di latih
sebagai misionaris. Setiap orang yang diharapkan memasui pelayanan kependetaan,
pertama-tama harus mempunyai pengalaman sebagai pengabar Injil atau evangelis.
Mereka harus melayani selama tiga tahun
diberbagai ladang misi sebelum mereka di beri tanggungjawab mengurus
jemaat di kampung halamannya. Pekerjaan ini, yang menuntut penyangkalan diri dan pengorbanan
pada permulaannya, adalah penyesuaian pendahuluan kepada kehidupan kependetaan,
yang pada waktu itu yang mencobai jiwa seseorang. Pemuda yang menerima
penahbisan kepada jabatan kudus, memandang ke depan bukan kepada harta dan
kemuliaan dunia, tetapi kepada kehidupan yang penuh kerja keras dan bahaya, dan
mungkin nasib sebagai syahid (martir). Para misionaris itu keluar berdua-dua,
sebagaimana Yesus mengirimkan murid-murid-Nya.
Setiap orang muda biasanya ditemani oleh seorang yang lebih tua dan
berpengalaman. Orang muda itu, yang di bawah bimbingan temannya yang
bertanggungjawab untuk melatihnya, harus mematuhi dan memperhatikan pengajaran
yang diberikan oleh temannya. Kedua teman sekerja ini tidak selamanya
bersama-sama, tetapi sering bertemu untuk berdoa dan memperoleh petunjuk atau
nasihat, dengan demikian menguatkan satu sama lain di dalam iman.
Jika tujuan misi
mereka ketahuan, pastilah mereka akan gagal. Oleh sebab itu, dengan hati-hati
dan cermat mereka harus menyembunyikan maksud mereka yang sebenarnya. Setiap
pendeta mempunyai pengetahuan mengenai perdagangan atau bidang-bidang profesi
lain, dan para misionaris itu melakukan tugas-tugas misionarisnya secara
rahasia di bawah naungan profesinya sebagai pedagang atau yang lain-lain.
Biasanya mereka memilih sebagai pedagang atau penjaja barang-barang.
"Mereka membawa kain sutera, batu permata, dan barang-barang lain yang
pada waktu itu tidak mudah dapat di beli kecuali di pasar-pasar yang jauh. Dan
mereka di sambut sebagai pedagang, yang seharusnya mereka di tolak dengan kasar
kalau sebagai misionaris." -- Wylie, b. 1, ch. 7. Sementara itu hati mereka terangkat kepada
Allah memohon akal budi untuk menyatakan harta yang lebih berharga dari emas
atau batu permata. Dengan secara rahasia dan diam-diam mereka membawa salinan
Alkitab, baik sebagian maupun seluruhnya. Dan bilamana kesempatan muncul,
mereka menarik perhatian langganan kepada naskah-naskah ini. Sering perhatian
untuk membaca firman Tuhan dibangkitkan, dan beberapa bagian-bagian Alkitab itu
ditinggalkan pada mereka yang berminat menerimanya.
Pekerjaan para misionaris ini dimulai di
dataran dan lembah-lembah di kaki pegunungan mereka, tetapi kemudian meluas ke
luar dari daerahnya itu. Dengan kaki telanjang dan dengan jubah yang kasar
seperti yang di pakai Tuhannya dahulu, mereka melewati kota-kota besar dan menembusi
negeri-negeri yang jauh. Dimana-mana mereka menebarkan benih yang berharga itu.
Gereja-gereja bertumbuh disepanjang jalan yang mereka lalui. Dan darah orang
yang mati syahid itu menjadi saksi bagi
kebenaran. Hari Allah akan menyatakan tuaian yang limpah jiwa-jiwa yang
dikumpulkan sebagai hasil pekerjaan orang-orang yang setia ini. Dengan
terselubung dan dengan diam-diam, firman Tuhan menerobos Kekristenan, dan
menemui penerimaan dengan senang hati di rumah-rumah dan di dalam hati
orang-orang.
Bagi orang-orang Waldenses Alkitab bukanlah
sekedar catatan apa yang dilakukan Allah kepada manusia pada masa lalu, dan
suatu pernyataan tanggungjawab dan tugas pada masa kini, tetapi membukakan
marabahaya dan kemuliaan pada masa yang akan datang. Mereka percaya bahwa tidak jauh lagi akhir
dari segala sesuatu. Dan sementara mereka mempelajari Alkitab di dalam doa dan
air mata, mereka semakin mendapat kesan mendalam dengan kata-katanya yang
berharga itu, dan dengan tugas mereka untuk memberitahukan kepada orang lain
mengenai kebenaran yang menyelamatkan itu. Mereka melihat rencana keselamatan
itu dengan jelas dinyatakan di halaman-halamannya yang kudus. Dan mereka
menemukan penghiburan, pengharapan dan kedamaian di dalam mempercayai Yesus.
Sementara itu menerangi pengertian mereka dan memberi kegembiraan kepada hati
mereka, mereka rindu untuk menyinarkan terang itu kepada orang-orang lain yang berada di dalam
kegelapan kesalahan kepausan.
Mereka melihat bahwa di bawah tuntunan
paus dan imam-imamnya orang banyak dengan sia-sia berusaha memperoleh
pengampunan oleh menyiksa tubuhnya untuk dosa-dosa jiwa mereka. Di ajar untuk percaya kepada pekerjaan baik
untuk menyelamatkan mereka, mereka selalu memandang kepada dirinya sendiri,
pikiran mereka tetap dalam keadaannya yang berdosa. Mereka melihat diri mereka
dihadapkan kepada murka Allah, yang menyiksa jiwa dan tubuh, namun tidak ada
kelepasan. Dengan demikian jiwa-jiwa itu telah di ikat oleh ajaran-ajaran atau
doktrin-doktrin Roma. Beribu-ribu orang meninggalkan teman-temannya dan kaum
keluarganya dan menghabiskan waktunya di dalam sel-sel biara. Dengan berpuasa
berulang-ulang dan dengan mencambuk dengan kejam, dengan berdoa
semalam-malaman, dengan tertelentang lemah berjam-jam lamanya di atas lantai yang
dingin dan lembab yang sangat menyedihkan, dengan pengembaraan dan ziarah yang
jauh, dengan menghukum diri sendiri untuk menebus dosa-dosa dan penyiksaan yang
mengerikan, ribuan orang dengan sia-sia mencari kedamaian hati nurani. Di tekan
oleh perasaan berdosa, dan dibayang-bayangi oleh ketakutan kepada murka
pembalasan Allah, banyaklah yang menderita sampai menemui ajalnya tanpa
seberkas sinar pengharapan mereka memasuki kuburnya.
Orang-orang Waldenses rindu untuk
membagi-bagikan roti hidup kepada jiwa-jiwa yang kelaparan ini, membukakan
kepada mereka kabar kedamaian di dalam janji-janji Allah, dan menuntun mereka
kepada Kristus sebagai satu-satunya pengharapan keselamatan mereka. Doktrin
yang mengatakan bahwa perbuatan baik boleh menyucikan pelanggaran kepada hukum
Allah yang mereka pegang, didasarkan atas kepalsuan. Kebergantungan kepada jasa
manusia menghalangi pandangan kepada kasih Kristus yang tidak terbatas itu.
Yesus mati sebagai korban bagi manusia, sebab manusia yang sudah jatuh itu
tidak dapat berbuat apa-apa untuk menyenangkan Allah atas dirinya. Jasa Juru
Selamat yang sudah tersalib dan bangkit kembali itu adalah azas iman Kristen.
Ketergantungan jiwa-jiwa kepada Kristus adalah suatu realita, dan hubungan
jiwa-jiwa itu kepada-Nya haruslah sedekat seperti anggota tubuh kepada badan
atau seperti cabang kepada pokok anggur itu.
Pengajaran para paus dan imam-imam telah
menuntun manusia memandang tabiat Allah, dan bahkan Kristus, sebagai yang
keras, bengis, suram dan menakutkan. Juru Selamat dinyatakan sebagai yang tidak
mempunyai simpati kepada manusia di dalam keadaannya yang telah jatuh, sehingga
pengantaraan imam-imam dan orang-orang kudus perlu dimintakan. Mereka yang
pikirannya telah diterangi oleh firmn Allah rindu untuk menunjukkan jiwa-jiwa
ini kepada Yesus sebagai Juru Selamatnya yang berbelas kasihan dan yang penuh
kasih sayang. Juru Selamat yang merentangkan tangan-Nya berdiri mengundang
semua orang untuk datang kepada-Nya dengan beban dosa mereka, dengn
kekhawatirannya dan keletihannya. Mereka rindu untuk menyingkirkan semua
hambatan yang telah di tumpuk oleh Setan sehingga orang-orang tidak bisa lagi
melihat janji-janji Tuhan, dan datang langsung kepada Allah, mengakui dosa-dosa
dan memperoleh pengampunan dan perdamaian.
Dengan kerinduan, misionaris Vaudois itu membukakan kabar Injil
kebenaran yang berharga itu kepada pikiran orang-orang yang bertanya-tanya.
Dengan hati-hati ia memberikan bagian Alkitab yang telah di salin. Adalah merupakan
kesukaan besar baginya untuk memberikan pengharapan bagi jiwa-jiwa yang di
landa dosa, jiwa yang sungguh-sungguh, yang melihat hanya Allah pembalas, yang
menunggu pelaksanaan pengadilan. Dengan bibir yang gemetar dan mata yang
berlinang air mata, ia sering melipat lututnya, membukakan kepada
saudara-saudaranya janji-janji mulia yang dinyatakan menjadi harapan
satu-satunya bagi orang berdosa. Demikianlah terang kebenaran itu menerusi
banyak pikiran yang telah digelapkan, menggulung kembali awan gelap sampai
Matahari Kebenaran bersinar ke dalam hati dengan kesembuhan di dalam sinar-Nya.
Sering terjadi bahwa beberapa bagian Alkitab di baca berulang-ulang; yang
mendengarkan mau agar diulangi, seolah-olah untuk memastikan kepada dirinya
bahwa ia telah mendengarnya dengan benar. Khusunya pengulangan kata-kata ini
sangat dirindukan, "Darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita dari pada
segala dosa" (1 Yoh. 1:7).
"Dan sam seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian
juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya
beroleh hidup yang kekal" (Yoh. 3:14,15).
Banaklah yang tidak
dapat di tipu sehubungan dengan tuntutan-tuntutan Roma. Mereka melihat betapa
sia-sianya pengantaraan orang-orang atau malaikat-malaikat atas orang-orang
berdosa. Sementara terang benar itu terbit di dalam pikiran mereka, mereka
berseru dengan sukacita, "Kristuslah imanku; darah-Nyalah korbanku;
mezbah-Nyalah tempat pengakuanku."
Mereka menaruh dirinya sepenuhnya kepada jasa Yesus, lalu
mengulang-ulangi perkataan ini,
"Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah"
( Iberani 11:6). "Sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain
yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan" (Kisah
4:12).
Kepastian kasih Juru Selamat tampaknya
terlalu banyak untuk disadari oleh jiwa-jiwa malang yang di landa topan
kebingungan. Begitu besar kelegaan yang diberikannya, sinar yang begitu terang
dipancarkan kepada mereka, sehingga mereka merasa seolah-olah telah di angkat
ke surga. Tangan mereka dengan yakin diletakkan di atas tangan Kristus. kaki
mereka dijejakkan di atas Batu Zaman. Semua ketakutan kepada kematian telah
sirna. Sekarang mereka dapat menghadapi penjara dan dapur api jika dengan itu
mereka bisa memuliakan nama Penebus mereka.
Di tempat-tempat rahasia firman Allah
telah dibawakan dan di baca, kadang-kadang kepada perseorangan, kadang-kadang
kepada sekelompok kecil orang yang rindu kepada terang dan kebenaran.
Seringkali sepanjang malam digunakan dengan cara ini. Begitu besar keheranan
dan kekaguman para pendengar sehingga tidak jarang pemberita belas kasihan itu
di paksa untuk menghentikan pembacaannya sampai pengertian mereka dapat
menangkap berita keselamatan itu. Sering kata-kata seperti ini
diucapkan, "Maukah Allah meneima persembahanku? Maukah Ia tersenyum
kepadaku? Maukah Ia mengampuni aku?"
Lalu dibacakan jawabnya, "Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu
dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu" (Matius 11:28).
Iman menangkap janji itu, dan respons
kesukaanpun terdengarlah: "Tidak perlu lagi mengadakan perjalanan ziarah
yang jauh, tidak perlu lagi perjalanan ke kuil-kuil yang meletihkan. Aku boleh
datang kepada Yesus sebagaimana aku ada, penuh dosa dan cemar, dan Ia tidak
akan menghinakan doa penyesalan atau pertobatan. 'Dosamu diampuni.' Dosaku, bahkan dosaku, juga dapat
diampuni!"
Suatu arus sukacita yang suci akan
memenuhi hati, dan nama Yesus akan dibesarkan oleh puji-pujian dan ucapan
terimakasih dan syukur. Jiwa-jiwa yang
berbahagia itu kembali ke kampung halaman mereka masing-masing untuk
menyebarkan terang, untuk menceriterakan kembali pengalaman baru mereka kepada
orang lain, sebaik mereka bisa, bahwa mereka telah menemukan Jalan yang hidup
dan benar. Ada kuasa yang aneh dan khidmat di dalam firman Alkitab yang
berbicara langsung ke dalam hati orang-orang yang rindu kepada kebenaran. Itu
adalah suara Allah, yang membawa keyakinan kepada mereka yang mendegarkannya.
Pemberita atau pesuruh kebenaran itu
meneruskan perjalanannya. Tetapi penampilannya yang rendah hati, ketulusannya,
kesungguh-sungguhannya dan semangatnya yang menyala-nyala sering menjadi pokok
pembicaraan. Dalam berbagai hal pendengar-pendengarnya tidak
menanyakan kapan ia datang dan kemana ia akan pergi. Mereka begitu dipenuhi,
mula-mula dengan kejutan, dan sesudah itu rasa syukur dan sukacita, sehingga
tidak terpikir lagi untuk bertanya. Bilamana mereka membujuknya bersama kerumah
mereka, ia menjawab bahwa ia harus mengunjungi domba yang hilang dari
kawanannya. Apakah ia itu malaikat dari surga?
Mereka bertanya.
Dalam bebagai keadaan, pemberita atau
pesuruh kebenaran itu tidak kelihatan lagi. Ia telah pergi ke negeri lain, atau
ia telah di sekap di dalam penjara bawah tanah, atau barangkali ia telah di
bunuh di tempat ia menyaksikan kebenaran itu. Tetapi firman yang
ditinggalkannya di belakangnya tidak dapat dibinasakan. Firman itu telah
bekerja di dalam hati orang-orang. Hasil terbaiknya hanya akan diketahui pada
waktu penghakiman.
Para misionaris Waldenses itu telah
menyerbu kerajaan Setan. Dan kuasa kegelapan bangkit dengan kewaspadaan yang
lebih besar. Setiap usaha untuk memajukan kebenaran diamati dengan seksama oleh
raja kejahatan, dan ia menimbulkan rasa takut agen-agennya. Para pemimpin kepausan melihat gejala-gejala
yang membahayakan kepentingan mereka dari usaha-usaha yang rendah hati ini.
Jika terang kebenaran dibiarkan bersinar tanpa hambatan, maka ia akan menyapu
bersih awan tebal kesalahan yang menyelimuti orang-orang. Terang itu akan
menuntun pikiran manusia hanya kepada Allah saja, dan dengan demikian akan
menghancurkan supremasi Roma.
Kehadiran orang-orang ini, yang berpegang
kepada iman yang mula-mula itu, telah menjadi kesaksian tetap kepada kemurtadan
Roma, dan oleh sebab itu telah membangkitkan kebencian dan penganiayaan yang
paling kejam. Penolakan mereka menyerahkan Alkitab itu juga merupakan suatu
pelanggaran yang tidak bisa di terima oleh Roma. Roma memutuskan untuk
menghapuskan mereka dari muka bumi ini. Sekarang mulailah perang melawan umat
Allah di rumah mereka dipegunungan. Para pemeriksa mulai bekerja, maka
terulanglah pembantaian orang-orang yang tidak bersalah, seperti Habil yang
tidak bersalah dahulu itu di bantai oleh Kain, si pembunuh.
Lagi-lagi tanah mereka yang subur diterlantarkan,
tempat tinggal dan rumah kebaktian mereka di sapu bersih, sehingga yang pada
suatu waktu adalah ladang-ladang subur dan rumah orang-orang yang tidak
bersalah dan rajin, sekarang yang tinggal hanyalah kegersangan. Sebagaimana
binatang buas semakin buas setelah menghisap darah, demikianlah amukan
orang-orang kepausan dinyalakan semakin besar oleh penderitaan korban mereka.
Banyak dari saksi-saksi ini oleh karena iman mereka di kejar-kejar ke
gunung-gunung, di buru sampai ke lembah-lembah dimana mereka bersembunyi, yang
ditutupi oleh hutan lebat dan batu-batu besar.
Tidak ada celaan moral yang bisa dituduhkan kepada
kelompok yang diharamkan ini. Musuh-musuhnya sendiri menyatakan bahwa mereka
adalah orang-orang yang suka damai, tenang dan saleh. Kesalahan besar mereka
adalah bahwa mereka tidak mau berbakti kepada Allah seperti yang dikehendaki
oleh paus. Untuk kejahatan ini maka ditimpakanlah kepada mereka segala cemoohan
dan hinaan dan siksaan yang dapat diciptakan oleh manusia atau Setan.
Bilamana Roma pada suatu waktu memutuskan untuk memusnahkan sekte yang di
benci ini, satu surat
perintah dikeluarkan oleh paus, yang mengutuk mereka sebagai orang-orang
murtad, dan mengirim mereka ke pembantaian. (lihat Lampiran). Mereka tidak di
tuduh sebagai orang-orang yang malas atau yang tidak jujur, atau orang yang
mengacau, tetapi telah dinyatakan bahwa mereka tampak sebagai orang saleh yang
kudus yang menggoda "domba yang benar." Oleh sebab itu paus memerintahkan agar "sekte yang jahat dan menjijikkan yang
berbahaya itu" jika mereka
"menolak untuk meninggalkan keyakinannya, maka akan dihancurkan sebagai
ular berbisa." -- Wylie, b. 16, ch. 1. Apakah penguasa yang sombong ini
mengharapkan akan bertemu kembali dengan kata-kata itu? Apakah ia tahu bahwa kata-kata itu telah di
catat di buku surga, untuk menghadapinya pada pengadilan surga kelak? "Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu
lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini," kata
Yesus, "kamu telah melakukannya untuk Aku" ( Matius 25:40).
Surat perintah itu memanggil semua anggota jemaat untuk
bergabung memerangi orang-orang bida'ah, yang murtad itu. Sebagai perangsang
untuk mengambil bagian dalam pekerjaan kejam ini, seseorang akan
"dibebaskan dari segala beban dan hukuman, baik secara umum atau khusus.
Mereka yang ikut berperang akan dibebaskan dari setiap sumpah yang telah
diucapkan. Akan disahkan haknya atas harta yang sebelumnya mungkin diperoleh
dengan tidak sah, dan memperoleh pengampunan dosa, jika mereka harus membunuh
orang-orang murtad atau bida'ah itu.
Perintah itu juga membatalkan semua kontrak dengan orang-orang Vaudois,
dan memerintahkan untuk meninggalkan rumah mereka serta melarang semua orang untuk membantu
mereka dalam hal apapun. Dan memberi kuasa kepada semua orang untuk mengambil
harta milik mereka." -- Wylie, b. 16, ch. 1. Dokumen ini dengan jelas
menyatakan siapa yang menjadi dalangnya. Itu adalah auman suara gemuruh naga
itu, bukan suara Kristus yang terdengar di situ.
Para pemimpin kepausan tidak akan menyesuaikan tabiat
mereka dengan standar hukum Allah, tetapi mendirikan satu standar yang sesuai
dengan kehendak mereka, dan memutuskan
memaksa semua menyesuaikan diri dengan
standar ini, sebab Roma menghendaki demikian. Tragedi yang paling mengerikan
telah berlaku. Imam-imam yang bejat dan
penuh dengan hujat, bersama-sama dengan paus telah melakukan pekerjaan yang di
suruh oleh Setan mereka lakukan. Belas
kasihan tidak ada lagi pada diri mereka. Roh yang sama yang menyalibkan Kristus
dan yang membunuh para rasul, roh yang sama yang menggerakkan kaisar Nero yang
haus darah menimpa orang-orang yang setia pada zamannya, itulah yang bekerja
untuk menumpas kekasih-kekasih Allah dari dunia ini.
Penganiayaan yang menimpa orang-orang yang takut
kepada Allah selama beberapa abad telah mereka tanggung dengan kesabaran dan
ketetapan hati yang memuliakan Penebus mereka. Walaupun ada perang yang
dilancarkan terhadap mereka, dan pembantaian yang tidak berperikemanusiaan yang
ditujukan kepada mereka, mereka terus mengirim misionaris untuk menyebarkan
kebenaran yang berharga itu. Mereka di buru-buru untuk di bunuh, namun darah
mereka menyirami biji-biji kebenaran yang ditaburkan, dan biji-biji kebenaran
itu tidak gagal untuk mengeluarkan buah-buah.
Demikianlah orang-orang Waldenses bersaksi bagi Allah, berabad-abad
sebelum kelahiran Martin Luther.
Tercerai berai di berbagai negeri, mereka menaburkan bibit Reformasi
yang mulai pada zamannya Wycliffe, yang bertumbuh meluas dan mendalam pada masa
Martin Luther, dan akan diteruskan sampai akhir zaman oleh mereka yang juga
besedia menderita segala sesuatu "oleh karena firman Allah dan kesaksian
yang diberikan olehYesus"(Wahyu1:9).
ARTIKEL LAINNYA....
No comments:
Post a Comment