Ads Google

Thursday, July 23, 2020

BAB 10 ORANG KRISTEN YANG PERTAMA MATI SYAHID

BAB 10

 Orang Kristen yang Pertama Mati Syahid

 

Stefanus, yang terkemuka dari ketujuh diaken, adalah seorang yang amat saleh dan luas iman. Meskipun ia seorang kelahiran Yahudi, ia berbahasa Yunani serta tahu betul adat istiadat dan cara‑cara orang Yunani. Sebab itu ia mencari kesempatan untuk mengkhotbahkan Injil di rumah sembahyang orang Yahudi Yunani. Ia amat aktif dalam pekerjaan Kristus dan dengan berani memasyhurkan imannya. Rabi‑rabi dan doktor‑doktor hukum yang terdidik mengambil bagian dalam perbincangan dengan khalayak ramai dengan dia, mengharapkan dengan keyakinan suatu kemenangan yang mudah. "Tetapi mereka tidak sanggup melawan khidmatnya dan Roh yang mendorong dia berbicara." Bukan saja ia berbicara dalam kuasa Roh Kudus, tetapi hal itu nyata bahwa ia adalah seorang murid nubuatan‑nubuatan dan mempelajari segala perkara berdasarkan hukum. Ia sanggup mempertahankan kebenaran yang dianjurkannya dan mengalahkan penentang‑penentangnya. Kepadanya perjanjian digenapi, "Sebab itu tetapkanlah di dalam hatimu, supaya kamu jangan memikirkan lebih dulu pembelaanmu: Sebab Aku sendiri akan memberikan kepadamu kata‑kata hikmat, sehingga kamu tidak dapat ditentang atau dibantah lawan‑lawanmu." Lukas 21:14, 15. Sementara imam‑imam dan penguasa‑penguasa melihat kuasa yang menyertai khotbah Stefanus, mereka dipenuhi dengan kebencian yang dalam. Gantinya menyerah kepada bukti yang dikemukakannya, mereka mengambil keputusan untuk mendiamkan suaranya dengan membunuh dia. Pada beberapa kesempatan mereka telah menyuap pemerintah Roma untuk melewatkan hal‑hal tanpa komentar di mana orang‑orang Yahudi telah main hakim sendiri dan telah mengadili, mempersalahkan dan menghukum mati orang‑orang tahanan setuju dengan adat kebiasaan bangsanya sendiri. Musuh Stefanus tidak bimbang bahwa mereka dapat mengikuti jalan seperti itu lagi tanpa bahaya kepada diri mereka sendiri. Mereka memutuskan untuk menjalani akibatnya dan menangkap Stefanus dan membawa dia di hadapan rapat Sanhedrin untuk diadili.

Orang‑orang Yahudi yang terdidik di daerah‑daerah sekitarnya di sekitarnya dipanggil dengan maksud menyangkal alasan dari orang tahanan itu. Saul dari Tarsus hadir dan ambil bagian dalam memimpin penyelidikan terhadap Stefanus. Ia menggunakan kefasihan berbicara dan logika rabi‑rabi untuk menyinggung hal ini, untuk meyakinkan orang banyak bahwa Stefanus sedang mengkhotbahkan pelajaran‑pelajaran yang menipu dan berbahaya; tetapi di dalam Stefanus ia menjumpai seseorang yang mempunyai suatu pengertian lengkap tentang maksud Allah dalam menyebarkan Injil kepada bangsa‑bangsa yang lain.

Karena imam‑imam dan penguasa‑penguasa tidak dapat menang melawan hikmat Stefanus yang nyata dan tenang, mereka mengambil keputusan untuk menjadikan dia sebagai contoh; dan dengan demikian mereka sedang memuaskan kebencian membalas dendam, mereka menghalangi orang‑orang lain, karena takut akan menerima imannya. Saksi‑saksi disewa untuk bersaksi dusta bahwa mereka telah mendengar dia berbicara perkataan hujat terhadap bait suci dan hukum. "Sebab kami telah mendengar dia mengatakan" saksi‑saksi itu menjelaskan, "bahwa Yesus, orang Nazaret itu, akan merubuhkan tempat ini dan mengubah adat istiadat yang diwariskan oleh Musa kepada kita."


Sementara Stefanus berdiri bertatap muka dengan hakim‑hakimnya untuk menjawab tuduhan hujat, suatu sinar yang suci bersinar pada wajahnya, dan "semua orang yang duduk dalam sidang Mahkamah Agama itu menatap Stefanus, lalu mereka melihat muka Stefanus sama seperti muka seorang malaikat." Banyak orang yang melihat cahaya ini menjadi gemetar serta menutupi wajah mereka, tetapi sikap kurang percaya dan prasangka penguasa‑penguasa tidak goncang.

Ketika Stefanus ditanyai mengenai tuduhan kebenaran terhadapnya, ia mulai pertahanannya dengan suara yang jelas dan menggetarkan, yang bergema di seluruh ruangan pengadilan. Dalam kata‑kata yang mempesona orang banyak, ia mulai mengulangi sejarah umat Allah yang suci. Ia menunjukkan bahwa melalui pengetahuan tentang kehidupan Yahudi dan tafsiran rohani tentang hal itu, sekarang menjadi jelas melalui Kristus. Ia mengulangi perkataan Musa yang meramalkan tentang Mesias: "Seorang nabi seperti aku ini akan dibangkitkan Allah bagimu dari antara saudara‑saudaramu." Ia menjelaskan kesetiaannya sendiri kepada Allah dan kepada iman orang‑orang Yahudi, sementara ia menunjukkan bahwa hukum yang dipercayai demi keselamatan tidak sanggup menyelamatkan Israel dari penyembahan berhala. Ia menghubungkan Yesus Kristus dengan seluruh sejarah Yahudi. Ia menunjuk kepada pembangunan bait suci oleh Salomo, dan kepada perkataan Salomo dan Yesaya: "Tetapi Yang Mahatinggi tidak diam di dalam apa yang dibuat oleh tangan manusia, seperti yang dikatakan oleh nabi: Langit adalah takhta‑Ku, dan bumi adalah tumpuan kaki‑Ku. Rumah apakah yang akan kamu dirikan bagi‑Ku, demikianlah firman Tuhan, tempat apakah yang akan menjadi perhentian‑Ku?"

Bila Stefanus sampai pada titik ini, ada keributan di antara orang banyak. Bila ia menghubungkan Kristus dengan nubuatan-nubuatan dan berbicara seperti yang diucapkannya tentang bait suci, imam yang pura‑pura terharu, mengoyakkan jubahnya. Bagi Stefanus perbuatan ini adalah suatu tanda bahwa suaranya segera akan didiamkan selama‑lamanya. Ia melihat perlawanan terhadap perkataannya dan mengetahui bahwa ia sedang menyampaikan kesaksiannya yang terakhir. Meskipun pada pertengahan khotbahnya, dengan segera ia mengakhirinya.      

Tiba‑tiba terpisah dari rentetan sejarah yang sedang diikutinya dan berbalik kepada hakim‑hakimnya yang marah, ia berseru: "Hai orang‑orang yang keras kepala dan yang tidak bersunat hati dan telinga, kamu selalu menentang Roh Kudus, sama seperti nenek moyangmu, demikian juga kamu siapakah dari nabi‑nabi yang tidak dianiaya oleh nenek moyangmu? Bahkan mereka membunuh orang‑orang yang lebih dulu memberitakan tentang kedatangan Orang Benar, yang sekarang telah kamu khianati dan kamu bunuh. Kamu telah menerima hukum Taurat yang disampaikan oleh malaikat‑malaikat akan tetapi tidak kamu menurutinya."


Mendengar hal ini, imam‑imam dan penguasa‑penguasa menjadi sangat marah. Bertindak bagaikan mangsa binatang buas lebih daripada manusia, mereka menyerbu Stefanus sambil menggertakkan gigi mereka. Dalam wajah-wajah yang menakutkan sekelilingnya orang penjara membaca nasibnya; tetapi ia tidak goncang. Baginya takut akan kematiannya sudah lenyap. Baginya imam‑imam yang marah dan penguasa‑penguasa yang naik darah tidak menimbulkan ketakutan. Pandangan di hadapannya seketika pudar dari penglihatannya. Baginya gerbang surga terbuka lebar‑lebar, dan sambil memandang ke dalam, ia melihat kemuliaan takhta Allah dan Kristus sedang bangkit dari takhta‑Nya untuk menolong hamba‑Nya. Dengan kata‑kata kemenangan, Stefanus berseru, "Sungguh, aku melihat langit terbuka dan Anak Manusia berdiri di sebelah kanan Allah."

Sedang ia melukiskan pemandangan yang mulia di atas mana matanya sedang memandang, hal itu lebih daripada apa yang dapat dipertahankan oleh para penganiayanya. Menutupi telinga mereka, supaya mereka tidak mendengar perkataannya, dan mengeluarkan seruan yang keras, mereka berlari dengan marahnya kepadanya dengan suara bulat "mereka menyeret dia ke luar kota." "Sedang mereka melemparinya, Stefanus berdoa, katanya: Ya Tuhan Yesus, terimalah Roh‑Ku. Sambil bertelut ia berseru dengan suara nyaring: Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka. Dan dengan perkataan ini meninggallah ia."

Tidak ada hukuman yang sah yang telah dijatuhkan ke atas Stefanus, tetapi dalam hal ini penguasa Roma telah disuap dengan uang yang besar jumlahnya untuk tidak mengadakan penyelidikan atas peristiwa itu.

Kematian Stefanus menjadikan kesan yang mendalam ke atas semua orang yang menyaksikannya. Kenangan tentang cap Allah adalah di atas wajahnya: perkataannya, yang menjamah jiwa dari mereka yang mendengarnya, tinggal dalam pikiran orang‑orang yang melihatnya, dan menyaksikan kebenaran tentang apa yang telah dimasyhurkannya. Kematiannya adalah ujian yang pahit kepada sidang, tetapi hal itu mengakibatkan keyakinan Saul, yang tidak dapat menghapus iman dari ingatannya dan keteguhan orang yang mati syahid itu, serta kemuliaan yang terpantul pada wajahnya.

Pada pemandangan dari ujian dan kematian Stefanus, nampaknya Saul telah dikaruniai semangat yang membara. Sesudah itu ia menjadi marah oleh keyakinannya sendiri yang tersembunyi bahwa Stefanus yang dihormati oleh Allah pada saat itu juga ia tidak dihormati oleh manusia. Saul terus menganiaya sidang Allah, mengejar mereka, menangkap mereka di rumah‑rumah mereka, dan menyerahkan mereka kepada imam‑imam dan penguasa‑penguasa untuk dipenjarakan atau mati. Semangatnya dalam menjalankan penganiayaan ini membawa ketakutan kepada orang‑orang Kristen di Yerusalem. Pemerintah Roma tidak mengatakan usaha yang khusus untuk menghentikan pekerjaan yang kejam itu dan dengan diam‑diam membantu orang‑orang Yahudi supaya mendamaikan mereka dan mendapat persetujuan mereka.

Sesudah kematian Stefanus, Saul dipilih sebagai anggota dewan Sanhedrin dalam pertimbangan dari bagian yang telah dilakukan pada kesempatan itu. Untuk sementara waktu ia adalah alat yang berkuasa dalam tangan Setan untuk menjalankan pemberontakannya terhadap Anak Allah. Tetapi tidak lama kemudian penganiaya yang tiada belas kasihan ini ditugaskan untuk mendirikan sidang yang sekarang sedang ambruk. Seorang yang lebih berkuasa daripada Setan telah memilih Saul untuk mengambil tempat Stefanus yang sudah mati syahid, untuk berkhotbah dan menderita bagi nama‑Nya, dan untuk menyebarkan secara luas kabar tentang keselamatan melalui darah‑Nya.


HOME - DAFTAR ISI

SOAL LATIHAN BUKU KISAH PARA RASUL