Pasal 9
HARI‑HARI PERJUANGAN
SEMENJAK kecil sekali anak orang
Yahudi sudah dikelilingi dengan segala tuntutan rabi‑rabi. Berbagai peraturan
yang keras sudah ditentukan untuk setiap kegiatan, hingga soal‑soal kehidupan
yang terkecil sekali pun. Di bawah asuhan guru‑guru di rumah sembahyang orang‑orang
muda diajar tentang peraturan‑peraturan yang tidak terkira banyaknya, yang
diharap mereka taati sebagai orang Israel yang beribadat. Tetapi Yesus tidak
memusingkan diri‑Nya dalam soal‑soal ini. Sejak kecil Ia berlaku bebas dari
segala hukum rabi‑rabi. Segala tulisan dalam Wasiat Lama selamanya dipelajari‑Nya
dan perkataan, "Demikianlah sabda Tuhan," selamanya ada di bibir‑Nya.
Ketika keadaan bangsa itu mulai terbuka
bagi pikiran‑Nya, dilihat‑Nya bahwa tuntutan masyarakat dan tuntutan Allah
selamanya berbenturan satu sama lain. Manusia sudah menjauhkan diri dari sabda
Allah, serta meninggikan segala teori rekaan mereka sendiri. Mereka memelihara
upacara‑upacara tradisi yang tidak mengandung manfaat. Acara perbaktian mereka
hanyalah berupa upacara agama yang diulang‑ulang belaka; segala kebenaran kudus
yang hendaknya diajarkannya, tersembunyi dari orang‑orang yang datang berbakti.
Ia melihat bahwa dalam upacara‑upacara mereka yang tidak disertai iman itu
mereka tidak mendapat damai. Mereka tidak mengenal kebebasan roh yang akan
datang kepada mereka oleh berbakti kepada Allah dalam kebenaran. Yesus telah
datang guna mengajarkan arti perbaktian kepada Allah, dan Ia tidak dapat
membenarkan pencampuran segala tuntutan manusia dengan ajaran Ilahi. Ia tidak
menyerang ajaran atau kebiasaan guru‑guru yang alim itu; tetapi bila ditegur
karena segala kebiasaan‑Nya sendiri yang sederhana itu, Ia mengucapkan sabda
Allah untuk membenarkan tingkah laku‑Nya itu.
Dengan cara yang halus dan lembut,
Yesus berusaha menyenangkan hati orang‑orang yang berbicara dengan Dia. Sebab
Ia bersikap lemah‑lembut dan tidak suka menonjolkan diri maka katib‑katib dan
tua‑tua menyangka bahwa Ia akan mudah terpengaruh oleh pengajaran mereka.
Mereka membujuk Dia supaya menerima baik segala adat‑istiadat serta tradisi
yang telah diwariskan turun temurun dari rabi‑rabi purbakala, tetapi Ia meminta
wewenang mereka dalam Alkitab. Ia mau mendengar tiap sabda yang keluar dari
mulut Allah; tetapi Ia tidak dapat menurut segala rekaan manusia. Yesus
tampaknya mengetahui Alkitab dari awal sampai akhir, dan Ia menguraikannya
dalam arti yang sesungguhnya. Rabi‑rabi merasa malu diajar oleh seorang anak
kecil. Mereka menuntut bahwa kewajiban merekalah untuk menjelaskan Alkitab, dan
bahwa pihak‑Nyalah yang harus menerima tafsiran mereka. Mereka marah karena Ia
berani melawan perkataan mereka itu.
Mereka tahu bahwa tidak ada wewenang
yang dapat diperoleh dalam Alkitab untuk tradisi‑tradisi mereka itu. Mereka
menyadari bahwa dalam pengertian rohani Yesus jauh lebih maju daripada mereka.
Namun mereka marah karena Ia tidak menurut segala perintah mereka. Karena tidak
berhasil meyakinkan Dia, mereka mencari Yusuf dan Maria, lalu membentangkan di
hadapan mereka pembawaan‑Nya yang tidak taat itu. Demikianlah Ia menderita
teguran dan kecaman.
Dalam usia yang masih sangat muda,
Yesus sudah mulai bertindak menurut cara‑Nya sendiri dalam pembentukan tabiat‑Nya,
bahkan hormat serta cinta pada orang tua‑Nya sekali pun tidak dapat mencegah
Dia daripada penurutan kepada firman Allah. "Adalah tersebut" ialah
alasan‑Nya bagi tiap perbuatan yang berbeda dari kebiasaan kekeluargaan. Tetapi
pengaruh rabi‑rabi menyebabkan pengalaman hidup‑Nya amat pahit. Pada masa muda‑Nya
sekalipun Ia mesti memahami pelajaran‑pelajaran berat dalam bertahan dengan
diam dan sabar.
Saudara‑saudara‑Nya, ialah anak‑anak
Yusuf, memihak kepada rabi‑rabi. Mereka bersikeras mengatakan bahwa tradisi‑tradisi
mesti ditaati seakan‑akan hal itu adalah tuntutan Allah. Mereka bahkan
menganggap segala ajaran manusia itu lebih tinggi daripada firman Allah, dan
mereka merasa sangat tersinggung oleh ketajaman otak Yesus dalam membedakan
antara yang salah dan yang benar. Ketaatan‑Nya yang saksama pada hukum Allah
mereka salahkan sebagai kedegilan. Mereka merasa heran akan pengetahuan serta
akal budi yang ditunjukkan‑Nya dalam menjawab rabi‑rabi. Mereka tahu bahwa Ia
tidak pernah mendapat pelajaran dari orang‑orang terpelajar itu, namun mereka
terpaksa melihat bahwa Ia merupakan seorang guru bagi mereka. Mereka mengakui
bahwa pendidikan‑Nya mengandung jenis yang lebih tinggi daripada pendidikan
mereka. Tetapi mereka tidak melihat bahwa Ia dapat menghampiri pohon alhayat, yaitu
sebuah sumber ilmu pengetahuan yang tentang itu mereka tidak mengetahui sedikit
pun.
Kristus tidak mengasingkan diri, dan
Ia telah dengan istimewa menyinggung perasaan kaum Farisi oleh menyimpang dalam
hal ini dari peraturan‑peraturan mereka yang keras itu. Ia melihat lapangan
agama dipagari dengan tembok pemisah yang tinggi‑tinggi, sebagai sesuatu yang
terlalu keramat untuk kehidupan sehari‑hari Tembok pemisah ini dihancurkan‑Nya.
Dalam pergaulan‑Nya dengan manusia Ia tidak bertanya. Apa agamamu? Gereja mana
kau ikuti? Ia menggunakan kuasa‑Nya untuk kepentingan sekalian orang yang
memerlukan pertolongan. Gantinya mengasingkan diri dalam rumah pertapaan, agar
dapat menunjukkan tabiat semawi‑Nya, Ia bekerja dengan tekun untuk umat
manusia. Ia menanamkan asas bahwa agama Kitab Suci tidak bergantung kepada
penyiksaan tubuh. Ia mengajarkan bahwa agama yang suci dan tidak bercacat
bukannya dimaksudkan semata‑mata untuk waktu‑waktu tertentu dan untuk saat‑saat
istimewa. Pada segala waktu dan di segala tempat Ia menyatakan minat yang penuh
kasih‑sayang terhadap manusia, serta memancarkan di sekeliling‑Nya cahaya
kesalehan yang gembira. Semuanya ini merupakan suatu tempelakan bagi orang
Farisi. Ditunjukkannya bahwa agama bukannya bergantung kepada sifat mementingkan
diri dan bahwa pengabdian mereka yang tidak sehat itu kepada kepentingan diri
sendiri adalah jauh daripada peribadatan yang sejati. Hal ini telah
membangkitkan permusuhan mereka melawan Yesus, sehingga mereka mencoba
memaksakan penurutan‑Nya kepada segala peraturan‑peraturan mereka.
Yesus bekerja untuk meringankan setiap
penderitaan yang dilihat‑Nya. Ia mempunyai sedikit uang untuk diamalkan, tetapi
Ia acapkali menyangkal diri untuk memberikan makanan agar dapat membantu orang‑orang
yang lebih berkekurangan daripada‑Nya. Saudara‑saudara‑Nya merasa bahwa
pengaruh‑Nya berjasa banyak untuk merintangi pengaruh mereka. Ia mempunyai akal
budi yang tidak dimiliki oleh seorang pun dari mereka atau yang ingin mereka
miliki. Kalau mereka berbicara kasar kepada orang yang miskin dan hina, Yesus
mencari justru orang‑orang yang malang ini, serta memberanikan hati mereka.
Kepada orang‑orang yang berkekurangan Ia suka memberikan secangkir air sejuk,
seraya dengan diam‑diam menaruh makanan‑Nya Sendiri ke tangan mereka. Sementara
Ia meringankan penderitaan mereka, segala kebenaran yang diajarkan‑Nya
dihubungkan dengan perbuatan kasihan‑Nya itu, dan dengan demikian
mencantumkannya dalam ingatan.
Semuanya ini mengecilkan hati saudara‑Nya.
Karena lebih tua dari Yesus mereka merasa bahwa Ia harus di bawah perintah
mereka. Mereka mempersalahkan Dia dengan mengatakan bahwa Ia menganggap diri‑Nya
lebih tinggi daripada mereka, serta menegur Dia karena menempatkan diri‑Nya
sendiri di atas guru‑guru mereka, di atas imam‑imam mereka dan penghulu‑penghulu
bangsa Yahudi. Sering mereka mengancam dan mencoba menakut‑nakuti Dia; tetapi
Ia berjalan terus menggunakan Alkitab sebagai penuntun‑Nya.
Yesus mengasihi saudara‑saudara‑Nya,
dan memperlakukan mereka itu dengan kebaikan hati yang tiada putus‑putusnya;
tetapi mereka itu cemburu pada‑Nya, dan menyatakan sikap kurang percaya dan
sikap memandang remeh yang nyata. Mereka tidak dapat mengerti tingkah laku‑Nya.
Banyaklah pertentangan besar nampak dalam diri Yesus. Ialah Anak Allah yang
Ilahi namun Ia adalah seorang anak kecil yang tidak berdaya. Khalik segala
dunia, dan bumi ini adalah milik‑Nya, namun kemiskinan meliputi pengalaman
hidup‑Nya pada setiap langkah. Ia memiliki suatu kebesaran dan kepribadian yang
semata‑mata berbeda dengan kesombongan dan ketekeburan duniawi; Ia tidak
berjuang untuk mengejar kebesaran duniawi, malah dalam kedudukan yang terhina
sekali pun Ia merasa puas. Hal ini membangkitkan kemarahan saudara‑saudara-Nya.
Mereka tidak dapat mengerti ketenangan-Nya yang tetap dalam menghadapi ujian
dan kemelaratan. Mereka tidak tahu bahwa untuk kepentingan kita Ia telah
menjadi papa, supaya kita "menjadi kaya oleh kepapaan‑Nya itu."
Mereka tidak dapat mengerti rahasia tugas‑Nya lebih daripada sahabat‑sahabat
Ayub dapat mengerti kehinaan serta penderitaannya.
Yesus dipahami salah oleh saudara‑saudara‑Nya
sebab Ia tidak seperti mereka. Asas yang dipegang‑Nya bukanlah asas yang mereka
pegang. Dalam memandang kepada manusia mereka telah menjauhkan diri dari Allah,
dan mereka tidak mempunyai kuasa‑Nya dalam hidup mereka. Segala peraturan agama
yang mereka anut itu, tidak dapat mengubahkan tabiat. Mereka membayar
"dalam sepuluh asa daripada selasih dan adas manis dan jintan,"
tetapi "lalaikan perkara yang terberat dalam Taurat, yaitu kebenaran dan
rahmat dan amanat." Teladan yang diberikan Yesus merupakan suatu gangguan
yang terus‑menerus bagi mereka. Hanya satu perkara yang dibenci‑Nya di dunia
ini, yaitu dosa. Ia tidak dapat menyaksikan satu perbuatan yang salah tanpa
kepedihan yang tidak mungkin dapat disembunyikan. Di kalangan orang‑orang yang
beragama sekadar peraturan saja, yang kesuciannya secara lahir menyembunyikan
kecintaan pada dosa, dengan suatu tabiat yang dalamnya semangat untuk kemuliaan
Allah selamanya paling utama, perbedaan amat nyata. Sebab kehidupan Yesus
mempersalahkan kejahatan, Ia dilawan baik di rumah maupun di luar rumah. Sifat
tidak mementingkan diri dan ketulusan‑Nya dibicarakan dengan sikap mengejek.
Kesabaran dan kebaikan hati‑Nya disebut sifat pengecut.
Dari segala kepahitan yang menjadi
nasib manusia, tidak ada bagian yang tidak dirasai oleh Kristus. Ada orang yang
mencoba melemparkan hinaan kepada‑Nya karena kelahiran‑Nya, bahkan pada waktu
masih kanak‑kanak pun Ia mesti menghadapi pandangan mereka yang menghina dan
bisikan mereka yang jahat. Sekiranya Ia menjawab dengan sepatah kata dan
pandangan yang tidak sabar, sekiranya la menyerah kalah kepada saudara‑saudara‑Nya
itu oleh hanya suatu perlakuan yang salah sekali pun, niscaya Ia sudah akan
gagal menjadi suatu teladan yang sempurna. Dengan demikian Ia sudah pasti akan
gagal melaksanakan Ikhtiar penebusan kita. Sekiranya Ia hanya mengaku bahwa ada
maaf untuk dosa, Setan tentu akan menang, dan dunia ini sudah pasti akan
hilang. Inilah sebabnya mengapa penggoda itu bekerja untuk menjadikan hidup‑Nya
paling sukar, supaya Ia dapat terbawa kepada dosa.
Tetapi bagi setiap penggodaan Ia
mempunyai satu jawab, "Adalah tertulis." Ia jarang mengecam sesuatu
perlakuan salah dari saudara‑saudara‑Nya, tetapi pada‑Nya ada kabar dari Allah
untuk disampaikan kepada mereka. Kerapkali la dituduh sebagai pengecut karena
tidak mau mempersatukan diri dengan mereka dalam sesuatu perbuatan terlarang;
tetapi jawab‑Nya ialah, adalah tertulis, "Takut akan Tuhan itulah hikmat
adanya dan menjauhkan diri daripada jahat itulah akal budi."
Ada juga orang yang suka bergaul
dengan Dia, merasa damai kalau Ia ada; tetapi banyak juga orang yang
menghindari Dia, sebab mereka tertempelak oleh hidup‑Nya yang tidak bercela itu.
Teman‑teman‑Nya orang muda membujuk Dia supaya melakukan apa yang mereka
lakukan. Ia pintar dan selalu gembira; mereka merasa senang kalau la ada, serta
menyambut gembira anjuran‑anjuran‑Nya yang selamanya siap sedia; tetapi mereka
tidak sabar akan sikap-Nya yang amat berhati‑hati dan menyebut Dia seorang yang
berpandangan sempit dan picik. Yesus menjawab, Adalah tersebut, "Dengan
apa gerangan boleh orang muda memeliharakan jalannya suci daripada salah? Kalau
dijaganya dengan sabda‑Mu." "Maka segala pesan‑Mu telah kutaruh dalam
hatiku, supaya jangan aku berdosa kepada‑Mu."
Acapkali Ia ditanya, Mengapa engkau
selalu suka menyendiri dalam segala tingkah‑lakumu, berbeda dari kami semuanya?
Adalah tertulis, kata‑Nya, "Berbahagialah orang-orang yang hidupnya tidak
bercela, yang hidup menurut Taurat Tuhan. Berbahagialah orang-orang yang
memegang peringatan-peringatan-Nya, yang mencari Dia dengan segenap hati, yang
juga tidak melakukan kejahatan, tetapi yang hidup menurut jalan-jalan yang
ditunjukkan-Nya." Mazmur 119:1 ‑3.
Apabila ditanya mengapa Ia tidak
mengikuti senda‑gurau anak‑anak muda Nazaret, la berkata, Adalah tersebut,
"Atas petunjuk peringatan-peringatan-Mu aku bergembira, seperti atas
segala harta. Aku hendak merenungkan titah-titah-Mu dan mengamat-amati
jalan-jalan-Mu. Aku akan bergemar dalam ketetapan-ketetapan-Mu; firman-Mu tidak
akan kulupakan." Mazmur 119:14‑16
Yesus tidak mau berbantah untuk
mempertahankan hak‑Nya. Sering pekerjaan‑Nya dijadikan sangat berat dengan
tidak seperlunya sebab Ia suka menurut dan tidak bersungut. Namun Ia tidak
gagal atau pun putus asa. Ia hidup di atas segala kesulitan ini, seolah‑olah
dalam cahaya wajah Allah. Ia tidak membalas dengan dendam apabila diperlakukan
dengan kasar, melainkan menanggung perlakuan yang tidak senonoh dengan sabar.
Berulang‑ulang Ia ditanyai, Mengapa
Engkau menyerah saja pada perlakuan yang tidak senonoh itu, meski dari saudara‑saudara‑Mu?
Adalah tersurat, kata‑Nya, "Hai anak‑Ku, jangan kiranya engkau lupa akan
hukum‑Ku, melainkan hendaklah hatimu memeliharakan segala pesan‑Ku. Karena ia
itu akan menambahi segala hari dan tahun umur hidupmu dan memperbanyak selamat
bagimu. Jangan kiranya peri kemurahan dan setia itu meninggalkan dikau,
melainkan kalungkanlah dia pada lehermu dan suratkanlah dia pada loh hatimu.
Karena demikian engkau akan beroleh karunia dan kebajikan, baik daripada pihak
Allah, baik daripada pihak manusia."
Sejak orangtua Yesus menjumpai Dia di
bait suci, segala tingkah laku‑Nya merupakan suatu rahasia bagi mereka. Ia
tidak mau berbantah, namun teladan yang diberikan‑Nya selamanya menjadi suatu
pelajaran. Ia tampak sebagai seorang yang sudah diasingkan. Saat‑saat
kebahagiaan‑Nya ialah bila Ia seorang diri dengan alam kejadian dan dengan
Allah. Bila saja ada kesempatan terluang bagi‑Nya, Ia meninggalkan pekerjaan‑Nya,
lalu pergi ke ladang, untuk merenung di lembah‑lembah yang menghijau, untuk
mengadakan hubungan dengan Allah di lereng gunung atau di bawah pepohonan yang
rindang daunnya. Sering pagi‑pagi buta Ia berada di suatu tempat yang sunyi,
untuk merenung, menyelidik Alkitab, atau berdoa. Dari saat‑saat yang tenang ini
Ia pulang ke rumah‑Nya untuk melakukan kewajiban‑Nya pula, dan guna memberikan
suatu teladan dalam melakukan pekerjaan dengan sabar.
Kehidupan Kristus ditandai dengan
kehormatan dan kasih pada ibu‑Nya. Maria percaya dalam hatinya bahwa anak kudus
yang lahir daripadanya itulah Mesias yang sudah lama dijanjikan itu, namun ia
tidak berani menyatakan keyakinannya itu. Selama Ia hidup di bumi ini Maria turut
mengambil bagian dalam kesengsaraan‑Nya. Ia menyaksikan dengan duka segala
penderitaan yang didatangkan kepada‑Nya pada waktu Ia masih kanak‑kanak dan
anak muda. Oleh membenarkan apa yang diketahuinya benar dalam kelakuan Yesus,
ia sendiri terbawa ke dalam kedudukan yang sulit. Ia memandang pada pergaulan
di rumah tangga dan pemeliharaan ibu yang lemah‑lembut akan anak‑anaknya
sebagai sesuatu yang sangat penting dalam pembentukan tabiat. Anak‑anak Yusuf
lelaki dan perempuan mengetahui hal ini, dan dengan menarik perhatian kepada
kecemasan hati ibu itu, mereka mencoba memperbaiki kebiasaan‑kebiasaan Yesus
sesuai dengan ukuran mereka.
Maria acapkali menegur Yesus, serta
mendesak agar Ia mengikuti kebiasaan rabi‑rabi. Tetapi tiadalah Ia dapat
dibujuk untuk mengubahkan kebiasaan‑Nya dalam merenungkan perbuatan tangan
Allah serta berusaha meringankan penderitaan manusia, bahkan penderitaan
binatang‑binatang yang bisu sekali pun. Apabila imam‑imam dan guru‑guru
menuntut bantuan Maria dalam mengendalikan Yesus, ia merasa amat susah; tetapi
damai datang ke dalam hatinya setelah diucapkan‑Nya sebutan‑sebutan Alkitab
yang menyokong segala kebiasaan‑Nya itu.
Ada kalanya ia merasa ragu‑ragu antara
Yesus dan saudara‑saudara‑Nya, yang tidak percaya bahwa Ialah Utusan dari
Allah; tetapi bukti banyak sekali yang menyatakan bahwa tabiat‑Nya itu Ilahi
adanya. Ia melihat Dia mengorbankan diri‑Nya sendiri demi kebaikan orang‑orang
lain. Hadirat‑Nya membawa suatu suasana yang lebih murni ke dalam rumah tangga,
dan kehidupan‑Nya adalah bagaikan ragi yang bekerja di tengah anasir‑anasir
kemasyarakatan. Dalam keadaan tidak berdosa dan tidak bercela, Ia berjalan di
antara orang‑orang yang kurang pikir, yang kasar dan yang tidak sopan; di
antara para pemungut cukai yang curang, anak-anak sesat yang nekat, orang‑orang
Samaria yang najis, serdadu‑serdadu kafir, petani‑petani yang kasar, dan orang
banyak yang serba aneka keadaannya. Ia mengucapkan sepatah kata belas kasihan
di sini dan sepatah kata di sana, bila Ia melihat orang yang penat, namun
terpaksa memikul beban‑beban yang berat. Ia turut memikul beban mereka seraya
memberikan kepada mereka itu pelajaran‑pelajaran yang telah dipelajari‑Nya dari
alam kejadian, tentang kasih‑sayang, kebaikan hati dan kebajikan Allah.‑
Ia mengajar semua orang untuk
memandang bahwa diri mereka sendiri telah dianugerahi pelbagai macam bakat,
yang jika digunakan dengan semestinya akan menghasilkan kekayaan yang kekal
bagi mereka. Ia mencabut segala kesia‑siaan dari kehidupan, dan oleh teladan
yang diberikan‑Nya mengajarkan bahwa setiap saat adalah penuh berisi akibat‑akibat
yang kekal; bahwa waktu itu harus dijaga seperti sebuah harta, dan harus
digunakan untuk maksud‑maksud yang suci. Ia tidak pernah melalui seseorang jua
pun sebagai tidak berharga, melainkan berusaha membubuhkan penawar yang
menyelamatkan kepada tiap‑tiap jiwa. Dalam rombongan manusia yang mana pun Ia
berada, Ia menyampaikan sesuatu pelajaran yang selaras dengan waktu dan
keadaan. Ia berusaha mengilhamkan harapan ke dalam hati orang‑orang yang paling
kasar dan tidak memberi banyak harapan, membukakan kepada mereka jaminan bahwa
mereka dapat menjadi bebas dari cela dan bencana, mencapai suatu tabiat yang
akan menjadikan mereka nyata sebagai anak‑anak Allah. Kerapkali Ia bertemu
dengan orang‑orang yang telah hanyut di bawah kendali Setan, dan yang tidak
berkuasa melepaskan diri dari jeratnya. Kepada seseorang yang demikian, yang
putus asa, sakit, tergoda, dan terjerumus, Yesus mengucapkan perkataan belas
kasihan yang paling lemah‑lembut, perkataan yang diperlukan dan yang dapat
dipahami. Sering pula Ia bertemu dengan orang‑orang lain, yang sedang bertempur
melawan musuh jiwa. Ia meneguhkan semangat orang‑orang ini supaya tetap tabah,
seraya memberi jaminan bahwa mereka pasti menang; karena malaikat‑malaikat
Allah berdiri di pihak mereka, dan akan memberi kepada mereka kemenangan. Orang‑orang
yang ditolong‑Nya dengan demikian diyakinkan bahwa inilah Dia yang padanya
mereka dapat berharap dengan keyakinan yang sempurna. Ia tidak akan
mengkhianati segala, rahasia yang mereka sampaikan ke telinga‑Nya yang menaruh
simpati.
Yesuslah yang menyembuhkan tubuh dan
jiwa. Ia menaruh perhatian dalam segala jenis penderitaan yang terlihat oleh
mata‑Nya, dan kepada setiap penderita Ia membawa pertolongan, segala perkataan‑Nya
yang manis mengandung penawar yang menyembuhkan. Tidak seorang pun yang dapat
mengatakan bahwa Ia telah mengadakan mukjizat; tetapi kebajikan kuasa kasih
yang menyembuhkan keluar daripada‑Nya kepada orang‑orang yang sakit dan yang
susah. Demikianlah dengan cara yang tiada mencolok mata la bekerja bagi orang
banyak sejak masa kecil‑Nya sekali pun. Maka inilah sebabnya, setelah Ia mulai
bekerja untuk umum, begitu banyak orang mendengar Dia dengan senang hati.
Namun sepanjang masa kanak‑kanak, masa
muda, dan masa dewasa, Yesus berjalan seorang diri. Dalam kesucian dan
kesetiaan‑Nya, Ia mengirik apitan anggur seorang diri, dan tiada seorang jua
pun yang menyertai Dia. Ia memikul beban kewajiban yang luar biasa beratnya,
untuk keselamatan umat manusia. Ia maklum bahwa kalau tidak ada sesuatu
perubahan yang nyata dalam asas‑asas serta maksud‑maksud bangsa manusia,
semuanya pasti akan binasa. Inilah tanggungan jiwa‑Nya, dan seorang jua pun
tiada yang dapat menyadari beban yang terletak di atas pundak‑Nya itu. Penuh
dengan maksud yang kuat, dilaksanakan‑Nyalah rencana hidup‑Nya bahwa Ia sendiri
harus menjadi terang bagi manusia.
No comments:
Post a Comment