Pasal 8
KUNJUNGAN KE PESTA PASKAH
BAGI bangsa Yahudi tahun keduabelas
ialah garis pemisah antara masa kanak‑kanak dan masa muda. Setelah meningkat ke
dalam usia ini seorang anak muda Ibrani disebut anak hukum, dan juga anak
Allah. Ia diberi kesempatan istimewa untuk pelajaran agama, dan diharapkan
untuk mengikuti berbagai pesta dan upacara keagamaan. Sesuai dengan kebiasaan
inilah Yesus pada masa mudanya mengadakan kunjungan Paskah ke Yerusalem.
Sebagaimana semua orang Israel yang tekun beribadat, Yusuf dan Maria naik tiap
tahun untuk menghadiri Paskah, dan sesudah Yesus mencapai umur yang dituntut,
mereka membawa Dia beserta mereka.
Ada tiga pesta tahunan, Paskah,
Pentakosta, dan Pesta Pondok Daun‑daunan, pada kesempatan seperti itu semua
orang laki‑laki Israel diperintahkan menghadap, Tuhan di Yerusalem. Di antara
semua pesta ini pesta Paskahlah yang paling ramai dikunjungi orang. Banyak yang
datang dari segala negeri di mana orang Yahudi tercerai‑berai. Dari segenap
bagian Palestina datanglah orang‑orang yang hendak berbakti dalam rombongan‑rombongan
yang besar. Perjalanan dari Galilea memerlukan beberapa hari, dan para
pengunjung itu bersatu dalam rombongan‑rombongan besar buat teman perlindungan.
Kaum wanita dan orang‑orang yang sudah lanjut usianya mengendarai lembu jantan
atau keledai melalui jalan yang curam dan berbatu‑batu. Orang‑orang laki‑laki
dewasa dan anak‑anak muda yang agak kuat, berjalan kaki. Waktu pesta Paskah
itu, jatuh pada akhir bulan Maret atau pada awal bulan April, dan seluruh
negeri bersemarak dengan bunga‑bunga dan beria‑ria dengan kicauan burung.
Sepanjang jalan tampak tempat‑tempat yang menjadi kenang‑kenangan dalam sejarah
bangsa Israel maka ibu‑ibu serta bapa‑bapa mengisahkan kepada anak‑anak mereka
masing‑masing tentang mukjizat‑mukjizat yang telah diadakan Allah bagi umat‑Nya
pada masa yang telah lampau. Mereka mengisi waktu perjalanan itu dengan
nyanyian dan musik, dan tatkala akhirnya menara‑menara Yerusalem nampak,
berpadulah tiap suara dalam nyanyian kegembiraan yang gegap‑gempita--
"Bahwa kaki kami adalah berdiri
Dalam pintu negerimu, hai Yerusalem . . .
Hendaklah ada selamat dalam kota‑bentengmu,
Dan sejahtera dalam segala
mahligaimu!" mahligaimu!"
Pemeliharaan Paskah mulai dengan
kelahiran bangsa Ibrani. Pada malam terakhir dari masa perhambaan mereka di
Mesir, apabila tiada sesuatu tanda kelepasan tampak, Allah memerintahkan mereka
supaya bersiap‑siap untuk kelepasan yang segera akan terjadi. Ia telah
memberikan amaran kepada Firaun tentang hukuman yang terakhir atas orang Mesir,
dan Ia telah menyuruh orang Ibrani mengumpulkan keluarga mereka di tempat
kediaman masing‑masing. Setelah segala ambang pintu dipercik dengan darah anak
domba yang disembelih, mereka harus memakan daging anak domba itu, yang sudah
dipanggang, bersama apam fatir dan gulai yang pahit. "Maka dengan
demikian hendaklah kamu makan dia,"
firman‑Nya, "yaitu dengan berikat pinggangmu dan berkasut kakimu dan
tongkat pada tanganmu, maka hendaklah kamu makan dia dengan bersegera‑segera,
yaitu Paskah Tuhan." Tengah malam semua anak sulung orang‑orang Mesir mati
terbunuh. Kemudian raja mengirimkan kabar kepada bangsa Israel,
"Berangkatlah kamu; keluarlah dari antara segala rakyatku, . . . pergilah
kamu berbuat bakti kepada Tuhan, setuju dengan katamu." Orang‑orang Ibrani
itu pergi keluar dari Mesir sebagai satu bangsa yang merdeka. Tuhan telah
memerintahkan supaya pesta Paskah itu diselenggarakan tiap tahun. "Maka
akan jadi kelak," la bersabda, "apabila anakmu bertanya akan kamu:
Apakah kebaktian yang pada kamu ini? Hendaklah kamu menyahut: Inilah korban
paskah bagi Tuhan, yang lalu daripada segala rumah bangsa Israel dalam negeri
Mesir tatkala dipalu‑Nya segala orang Mesir, maka dilindungkan‑Nya segala rumah
kita." Demikianlah dari keturunan kepada keturunan hikayat tentang
kelepasan yang ajaib ini harus diulangi.
Paskah itu disusul dengan pesta roti
yang tidak beragi yang lamanya tujuh hari. Pada hari yang kedua dari pesta
tersebut, buah bungaran dari panen tahun itu, seberkas syeir, dipersembahkan di
hadirat Tuhan. Segenap upacara pesta itu membayangkan pekerjaan Kristus.
Kelepasan bangsa Israel dari Mesir adalah satu pelajaran yang membayangkan
penebusan, dan untuk itu Paksah dimaksudkan untuk mengingatkannya. Domba yang
disembelih, roti yang tidak beragi, buah bungaran itu, membayangkan
Juruselamat.
Bagi kebanyakan orang pada zaman
Kristus, pemeliharaan pesta ini telah merosot menjadi sekadar hari raya upacara
saja. Tetapi betapa besar artinya bagi Putra Allah!
Inilah kali yang pertama Yesus melihat
bait suci. Ia melihat imam‑imam yang berjubah putih melakukan tugas mereka
dengan penuh khidmat. Ia melihat korban yang bergelimangan darah di atas mezbah
korban. Bersama dengan orang‑orang yang berbakti la tunduk berdoa, sementara
asap dupa naik di hadirat Allah. Ia menyaksikan upacara Paskah yang mengesankan
itu. Hari demi hari Ia melihat arti semuanya dengan bertambah jelas. Tiap
perbuatan tampaknya terikat dengan hidup‑Nya sendiri. Getaran‑getaran baru
timbul dalam dada‑Nya. Dengan tenang dan penuh perhatian, la nampaknya
mempelajari sebuah soal yang pelik. Rahasia tugas‑Nya sedang terbuka bagi
Juruselamat.
Karena terlalu asyiknya memikirkan
peristiwa ini, la tidak tinggal tetap di samping orang tua‑Nya. Ia berusaha
menyendiri. Sesudah upacara‑upacara Paskah itu berakhir, Ia masih tinggal di
halaman bait suci itu; dan setelah semua orang yang berbakti meninggalkan
Yerusalem, Ia ketinggalan di sana.
Dalam kunjungan ke Yerusalem ini,
orangtua Yesus ingin memperkenalkan Dia dengan guru‑guru besar di kalangan
orang Israel. Meskipun Ia taat dalam segala hal pada firman Allah, la tidak
menyesuaikan diri dengan segala upacara dan kebiasaan rabi‑rabi itu. Yusuf dan
Maria mengharap supaya la dapat dipimpin untuk menghormati rabi‑rabi yang
terpelajar itu, dan memberikan perhatian yang lebih besar kepada tuntutan‑tuntutan
mereka. Tetapi Yesus dalam bait suci itu sudah diajar oleh Allah. Apa yang
telah diterima‑Nya, dengan segera mulai diberikan‑Nya.
Pada zaman itu sebuah ruangan yang
dihubungkan dengan bait suci dijadikan sekolah suci, menurut cara sekolah nabi‑nabi.
Di sinilah rabi‑rabi yang terkemuka berhimpun dengan murid‑muridnya dan ke
sinilah Yesus datang. Setelah duduk di kaki orang‑orang yang terpelajar dan
disegani ini Ia mendengarkan pengajaran mereka. Selaku seorang yang suka
menuntut hikmat, ditanyai‑Nya guru‑guru itu tentang nubuatan‑‑nubuatan dan
tentang peristiwa‑peristiwa yang sedang terjadi pada waktu itu, yang menunjuk
kepada kedatangan Mesias.
Yesus menunjukkan diri‑Nya sebagai
seorang yang haus akan pengetahuan tentang Allah. Pertanyaan‑pertanyaan‑Nya
mengandung kebenaran‑kebenaran yang dalam yang sudah lama tersembunyi, namun
yang mutlak bagi keselamatan jiwa. Sementara menyatakan betapa sempit dan
dangkal adanya pengetahuan orang‑orang pintar itu, setiap pertanyaan membuka
bagi mereka suatu pelajaran Ilahi, serta menaruh kebenaran dalam segi pandangan
yang baru. Rabi‑rabi itu berbicara tentang kemuliaan ajaib yang akan dibawa
oleh kedatangan Mesias kepada bangsa Yahudi; tetapi Yesus menyebutkan nubuatan
nabi Yesaya lalu menanyakan kepada mereka apa arti tulisan‑tulisan yang
menunjuk kepada penderitaan serta kematian Anak Domba Allah.
Doktor‑doktor itu berpaling kepada‑Nya
dengan pertanyaan‑pertanyaan, dan mereka keheran‑heranan mendengar segala jawab‑Nya.
Dengan kerendahan hati seorang anak kecil Ia mengulangi ayat Alkitab,
memberikan kepadanya arti yang begitu dalam, yang belum pernah diselami oleh
orang‑orang pandai itu. Seandainya diturut, maka garis‑garis kebenaran yang
ditunjukkan‑Nya itu niscaya sudah melahirkan suatu reformasi dalam agama zaman
itu. Perhatian yang tekun dalam soal‑soal kerohanian niscaya sudah timbul; dan
apabila Yesus memulai pekerjaan‑Nya, banyaklah orang yang akan bersedia untuk
menerima Dia.
Rabi‑rabi itu tahu bahwa Yesus belum
pernah dididik di sekolah mereka; namun pengertian‑Nya tentang nubuatan‑nubuatan
jauh melampaui pengertian mereka. Dalam diri anak Galilea yang cerdas ini
mereka melihat banyak kemungkinan yang besar. Mereka ingin mendapat Dia sebagai
murid, supaya Ia menjadi guru di kalangan orang Israel. Mereka ingin
bertanggung jawab atas pendidikan‑Nya, dengan merasa bahwa pikiran yang
demikian aslinya wajib ditaruh di bawah asuhan mereka.
Perkataan Yesus telah menggerakkan
hati mereka sebagaimana belum pernah dulu digerakkan oleh ucapan yang keluar
dari bibir manusia. Allah sedang berusaha hendak memberikan terang kepada para
pemimpin Israel, dan la menggunakan satu‑satunya ikhtiar yang dengan itu mereka
dapat dicapai. Dalam kesombongannya mereka niscaya akan merasa tidak suka
mengaku bahwa mereka dapat menerima pelajaran dari seseorang. Sekiranya Yesus tampak
seakan‑akan berusaha hendak mengajar mereka, sudah tentu mereka tidak akan mau
mendengarkan‑Nya. Tetapi mereka membanggakan diri sendiri bahwa mereka sedang
mengajar Dia, atau sekurang‑kurangnya menguji pengetahuan‑Nya akan Alkitab.
Kesederhanaan serta budi pekerti kemudaan Yesus melenyapkan segenap prasangka
mereka.
Dengan tidak sadar pikiran mereka
terbuka bagi firman Allah, dan Roh Suci berbicara kepada hati mereka.
Tak dapat tidak mereka harus sadar
bahwa pengharapan mereka tentang Mesias tidak disokong oleh nubuatan; tetapi
mereka tidak mau meninggalkan teori‑teori yang telah membesar‑besarkan cita‑cita
mereka. Mereka tidak mau mengaku bahwa mereka sudah salah mengerti akan Alkitab
yang mereka ajarkan itu. Dari seorang kepada seorang beredarlah pertanyaan,
Bagaimanakah anak muda ini mendapat pengetahuan, sedangkan ia tidak pernah
belajar? Terang sudah bersinar dalam kegelapan; tetapi "kegelapan itu
tidak menguasainya." Yoh. 1:5 .
Dalam pada itu Yusuf dan Maria sudah
sangat bingung dan susah. Ketika berangkat dari Yerusalem mereka sudah tidak
melihat Yesus, dan mereka tidak tahu bahwa Ia tinggal di sana. Pada waktu itu
negeri itu penuh sesak dengan manusia, dan kalifah‑kalifah dari Galilea amat
besar. Suasana sungguh kacau sekali ketika mereka meninggalkan kota. Di tengah
jalan kesukaan berjalan dengan sahabat‑sahabat dan handai‑taulan memenuhi
perhatian mereka, sehingga mereka tidak memperhatikan bahwa Ia tidak ada di
situ hingga malam tiba. Kemudian ketika mereka berhenti hendak beristirahat,
mereka kehilangan tangan anak mereka yang selalu siap sedia membantu. Karena
menyangka bahwa la ada dalam rombongan itu, mereka tadinya tidak merasa cemas.
Muda seperti Dia itu, mereka telah percaya kepada‑Nya dengan tiada syak,
mengharap bahwa bila diperlukan, la tentu akan bersedia hendak membantu mereka,
mengharapkan adanya keperluan‑keperluan mereka sebagaimana kebiasaan‑Nya.
Tetapi saat ini kekuatiran mereka timbul. Mereka mencari Dia di seluruh
rombongan mereka itu, tetapi sia‑sia belaka. Dengan perasaan gemetar mereka
teringat bagaimana Herodes sudah mencoba hendak membinasakan Dia waktu la masih
bayi. Kekuatiran hebat memenuhi hati mereka. Dipersalahkannya diri sendiri
dengan amat sangat.
Setelah kembali ke Yerusalem, mereka
terus‑menerus mencari. Keesokan harinya, sedang mereka bersama‑sama dengan
orang‑orang yang berbakti, suatu suara yang mereka kenal menarik perhatian
mereka. Tidak mungkin salah lagi; tiada suara lain yang serupa dengan suara‑Nya,
begitu singgah dan tekun namun begitu manis lagunya.
Di sekolah rabi‑rabi itu mereka
menemukan Yesus. Meskipun sangat bersuka, mereka tidak dapat melupakan
kesusahan serta kekuatiran mereka yang telah lalu. Sesudah Ia bersama‑sama
dengan mereka kembali, ibu itu berkata, dalam perkataan yang mengandung
teguran, "Hai Anakku, mengapa Engkau berbuat demikian akan kami? bahwa
bapa‑Mu dan aku mencari Engkau dengan susah hati."
Mengapa Aku kamu cari?" sahut
Yesus. "Tidakkah kamu tahu, bahwa tak dapat tidak adalah Aku dalam rumah
Bapa‑Ku?" Dan waktu mereka tampaknya tidak mengerti perkataan‑Nya itu, Ia
menunjuk ke atas. Pada wajah‑Nya tampaklah seperti sinar yang mengherankan
mereka. Keilahian sedang memancar dari kemanusiaan. Ketika menemukan Dia di
dalam bait suci, mereka sempat mendengar apa yang berlangsung antara Dia dan
rabi‑rabi itu, dan mereka tercengang‑cengang mendengar segala pertanyaan dan
jawab‑Nya. Perkataan‑Nya melahirkan serentetan buah pikiran yang tidak pernah
akan terlupakan.
Dan pertanyaan‑Nya kepada mereka
mengandung suatu pelajaran. "Tidakkah kamu tahu," kata‑Nya,
"bahwa tak dapat tidak adalah Aku dalam rumah Bapa‑Ku?" Yesus sedang
mengerjakan pekerjaan yang Ia telah datang ke dunia ini untuk mengerjakannya;
tetapi Yusuf dan Maria sudah melalaikan pekerjaan mereka sendiri. Allah telah
mengaruniai mereka kehormatan besar dalam mempercayakan Putra‑Nya kepada
mereka. Malaikat‑malaikat suci telah memimpin perjalanan Yusuf untuk menjaga
nyawa Yesus. Tetapi sehari suntuk Mereka telah kehilangan Dia yang seharusnya
tidak boleh mereka lupakan sekejap mata pun. Maka apabila kekuatiran hati
mereka sudah lalu, mereka bukannya mempersalahkan diri sendiri, melainkan
melemparkan kesalahan itu kepada‑Nya.
Adalah wajar bagi orangtua Yesus untuk
menganggap Dia sebagai anak mereka sendiri. Ia ada di antara mereka setiap
hari, kehidupan‑Nya dalam banyak hal adalah serupa dengan kehidupan anak‑anak
yang lain, sehingga sukarlah bagi mereka untuk menginsafi bahwa lalah Putra
Allah. Mereka hampir gagal untuk menghargai berkat yang dikaruniakan kepada
mereka dalam hadirat Penebus dunia. Kesusahan hati akibat perpisahan mereka
dari Dia, dan teguran halus yang terkandung dalam perkataan‑Nya itu,
dimaksudkan untuk mengingatkan kepada mereka betapa sucinya tanggung jawab yang
diserahkan kepada mereka.
Dalam jawab‑Nya kepada ibu‑Nya, Yesus
menunjukkan untuk pertama kalinya bahwa la mengerti hubungan‑Nya dengan Allah.
Sebelum la lahir malaikat telah berkata kepada Maria, "Ia akan menjadi
besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Dan Tuhan Allah akan
mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya, dan Ia akan menjadi
raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya." Lukas 1:32, 33.
Perkataan ini sudah direnungkan Maria dalam hatinya; namun meskipun ia yakin
bahwa anaknya itu harus menjadi Mesias bagi umat Israel, ia tidak mengerti akan
tugas‑Nya. Kini ia tidak mengerti akan perkataan‑Nya; tetapi ia tahu bahwa
Anaknya itu telah menyangkal tali kekeluargaan dengan Yusuf, dan telah
menyatakan bahwa Ialah Putra Allah.
Yesus tidak mengabaikan hubungan‑Nya
dengan orang tua‑Nya yang di dunia ini. Dari Yerusalem Ia pulang ke rumah
bersama mereka, dan Ia membantu mereka dalam pekerjaan sehari‑hari. Ia
menyembunyikan rahasia tugas‑Nya dalam
hati‑Nya sendiri, menanti dengan taat saat yang telah ditentukan bagi‑Nya untuk
memulai pekerjaan‑Nya. Delapan belas tahun lamanya sesudah Ia mengakui bahwa
Ialah Putra Allah, Ia mengakui tali yang mengikatkan Dia ke rumah tangga yang
di Nazaret dan melakukan segala kewajiban seorang anak, seorang saudara,
seorang sahabat, dan seorang warga negara.
Oleh karena tugas‑Nya sudah terbuka
bagi Yesus dalam bait suci, la menghindari hubungan dengan orang banyak. Ia
ingin pulang dari Yerusalem dengan diam‑diam, bersama dengan mereka yang tahu
akan rahasia hidup‑Nya. Oleh upacara Paskah, Allah sedang berusaha hendak
memanggil umat‑Nya keluar dari segala kesusahan duniawi serta mengingatkan
mereka akan segala perbuatan‑Nya yang ajaib dalam kelepasan mereka dari Mesir.
Dalam perbuatan ini Ia ingin supaya mereka melihat suatu janji kelepasan dari
dosa. Sebagaimana darah anak domba yang disembelih itu melindungi rumah tangga
bangsa Israel, demikian juga darah Kristus akan menyelamatkan jiwa
mereka;.tetapi mereka dapat diselamatkan oleh Kristus hanya apabila oleh
percaya mereka membuat hidup‑Nya menjadi hidup mereka sendiri. Adalah rahmat
dalam upacara‑upacara beralamat, hanya apabila ditujukannya orang‑orang yang
berbakti itu kepada Kristus sebagai Juruselamat pribadi mereka. Allah
menghendaki agar mereka dituntun ke arah penyelidikan serta renungan yang
disertai doa tentang tugas Kristus. Tetapi sesudah orang banyak itu
meninggalkan Yerusalem, kegembiraan sepanjang perjalanan dan percakapan dengan
teman‑teman terlalu sering memenuhi perhatian mereka, sehingga upacara yang
baru saja mereka saksikan itu dilupakan. Juruselamat tidaklah tertarik kepada
rombongan mereka itu.
Ketika Yusuf dan Maria pulang dari
Yerusalem tersendiri dengan Yesus, Ia berharap hendak menujukan pikiran mereka
kepada nubuatan‑nubuatan tentang Juruselamat yang akan menderita. Di atas Bukit
Golgota Ia berusaha meringankan dukacita ibu‑Nya. Kini Ia tengah memikirkan
tentang ibu‑Nya. Maria harus menyaksikan penderitaan‑Nya yang terakhir, dan
Yesus menghendaki agar ia mengerti tugas‑Nya, supaya ia dapat menjadi kuat
untuk menderita, manakala pedang itu menerusi jiwanya nanti. Sebagaimana Yesus
telah terpisah daripadanya dan ia telah mencari Dia dengan diliputi dukacita
tiga hari lamanya, demikian juga bila Ia dipersembahkan karena dosa‑dosa dunia
ini, Ia akan terpisah pula daripadanya tiga hari lamanya. Maka apabila Ia
keluar dari kubur, dukacitanya akan berubah pula menjadi sukacita. Tetapi ia
akan jauh lebih kuat menanggung kesengsaraan karena kematian‑Nya sekiranya ia
mengerti segala nubuatan ke arah mana Yesus kini mencoba mengalihkan segala
pikirannya.
Sekiranya Yusuf dan Maria telah
memusatkan pikiran mereka pada Allah dengan renungan dan doa, niscaya mereka
sudah menginsafi betapa sucinya tanggung jawab yang telah dipercayakan kepada
mereka dan mereka tidak akan kehilangan Yesus. Karena kelengahan sehari mereka
kehilangan Juruselamat; tetapi mereka harus mencari dengan perasaan cemas
selama tiga hari untuk menemukan Dia. Demikian juga halnya dengan kita; dengan
perkataan sia‑sia, fitnahan, atau kelalaian berdoa, mungkin kita pada satu hari
kehilangan hadirat Juruselamat, lalu mungkin memerlukan berhari‑hari lamanya
untuk mendapat Dia dengan susah‑payah, serta memperoleh kembali damai yang
telah hilang daripada kita.
Dalam pergaulan kita satu sama lain,
kita harus berhati‑hati supaya jangan kita melupakan Yesus, dan berjalan terus
dengan tiada mengingat bahwa Ia tidak bersama kita. Apabila hati kita sudah
penuh dengan hal‑hal duniawi sehingga kita tidak lagi menaruh ingatan akan Dia
yang dalamnya berkisar harapan kita akan hidup kekal, kita memisahkan diri kita
dari Yesus dan dari malaikat‑malaikat surga. Makhluk‑makhluk suci tidak dapat
tinggal di tempat hadirat Yesus yang tidak diingini, dan ketiadaan hadirat‑Nya
tidak diperhatikan. Inilah sebabnya mengapa perasaan tawar hati begitu sering
dialami oleh orang‑orang yang mengaku pengikut Kristus.
Banyak orang menghadiri acara
kebaktian, dan mereka disegarkan serta dihiburkan oleh firman Allah; tetapi
oleh kelalaian dalam mengadakan renungan, dalam hal berjaga dan doa, mereka
kehilangan berkat, dan merasa diri mereka lebih hampa daripada sebelum mereka
mendapatnya. Acapkali mereka merasa bahwa Allah telah berlaku keras terhadap
mereka. Mereka tidak melihat bahwa kesalahan itu adalah pada pihak mereka
sendiri. Dengan menjauhkan diri dari Yesus, mereka telah menutup pintu bagi
cahaya hadirat‑Nya.
Alangkah baiknya kalau kita
menggunakan waktu sejam lamanya setiap hari untuk merenungkan kehidupan
Kristus. Kita harus merenungkannya satu per satu, serta membiarkan angan‑angan
kita membayangkan setiap peristiwa, terutama peristiwa‑peristiwa terakhir.
Kalau kita memikir‑mikirkan pengorbanan‑Nya yang besar itu untuk kita,
keyakinan kita pada‑Nya akan makin menjadi tetap, kasih kita dihidupkan, dan
kita akan makin penuh dengan Roh‑Nya. Kalau kita mau diselamatkan kelak, kita
harus mempelajari pelajaran pertobatan dan kerendahan hati di kaki salib.
Sementara kita bergaul bersama, kita
dapat menjadi berkat bagi satu sama lain. Kalau kita milik Kristus, pikiran‑pikiran
kita yang paling manis ialah tentang Dia. Kita akan suka berbicara tentang Dia;
maka sementara kita berbicara kepada satu sama lain tentang kasih‑Nya, hati
kita pun akan dihaluskan oleh pengaruh Ilahi. Oleh memandang keindahan tabiat‑Nya,
kita akan "diubahkan oleh Roh Tuhan, daripada kemuliaan sampai kepada
kemuliaan."
--------------
No comments:
Post a Comment