Ads Google

Tuesday, March 31, 2020

Pasal 8 KUNJUNGAN KE PESTA PASKAH


Pasal 8

KUNJUNGAN KE PESTA PASKAH

BAGI bangsa Yahudi tahun keduabelas ialah garis pemisah antara masa kanak‑kanak dan masa muda. Setelah meningkat ke dalam usia ini seorang anak muda Ibrani disebut anak hukum, dan juga anak Allah. Ia diberi kesempatan istimewa untuk pelajaran agama, dan diharapkan untuk mengikuti berbagai pesta dan upacara keagamaan. Sesuai dengan kebiasaan inilah Yesus pada masa mudanya mengadakan kunjungan Paskah ke Yerusalem. Sebagaimana semua orang Israel yang tekun beribadat, Yusuf dan Maria naik tiap tahun untuk menghadiri Paskah, dan sesudah Yesus mencapai umur yang dituntut, mereka membawa Dia beserta mereka.
Ada tiga pesta tahunan, Paskah, Pentakosta, dan Pesta Pondok Daun‑daunan, pada kesempatan seperti itu semua orang laki‑laki Israel diperintahkan menghadap, Tuhan di Yerusalem. Di antara semua pesta ini pesta Paskahlah yang paling ramai dikunjungi orang. Banyak yang datang dari segala negeri di mana orang Yahudi tercerai‑berai. Dari segenap bagian Palestina datanglah orang‑orang yang hendak berbakti dalam rombongan‑rombongan yang besar. Perjalanan dari Galilea memerlukan beberapa hari, dan para pengunjung itu bersatu dalam rombongan‑rombongan besar buat teman perlindungan. Kaum wanita dan orang‑orang yang sudah lanjut usianya mengendarai lembu jantan atau keledai melalui jalan yang curam dan berbatu‑batu. Orang‑orang laki‑laki dewasa dan anak‑anak muda yang agak kuat, berjalan kaki. Waktu pesta Paskah itu, jatuh pada akhir bulan Maret atau pada awal bulan April, dan seluruh negeri bersemarak dengan bunga‑bunga dan beria‑ria dengan kicauan burung. Sepanjang jalan tampak tempat‑tempat yang menjadi kenang‑kenangan dalam sejarah bangsa Israel maka ibu‑ibu serta bapa‑bapa mengisahkan kepada anak‑anak mereka masing‑masing tentang mukjizat‑mukjizat yang telah diadakan Allah bagi umat‑Nya pada masa yang telah lampau. Mereka mengisi waktu perjalanan itu dengan nyanyian dan musik, dan tatkala akhirnya menara‑menara Yerusalem nampak, berpadulah tiap suara dalam nyanyian kegembiraan yang gegap‑gempita--

"Bahwa kaki kami adalah berdiri Dalam pintu negerimu, hai Yerusalem . . .
Hendaklah ada selamat dalam kota‑bentengmu,
Dan sejahtera dalam segala mahligaimu!" mahligaimu!"



Pemeliharaan Paskah mulai dengan kelahiran bangsa Ibrani. Pada malam terakhir dari masa perhambaan mereka di Mesir, apabila tiada sesuatu tanda kelepasan tampak, Allah memerintahkan mereka supaya bersiap‑siap untuk kelepasan yang segera akan terjadi. Ia telah memberikan amaran kepada Firaun tentang hukuman yang terakhir atas orang Mesir, dan Ia telah menyuruh orang Ibrani mengumpulkan keluarga mereka di tempat kediaman masing‑masing. Setelah segala ambang pintu dipercik dengan darah anak domba yang disembelih, mereka harus memakan daging anak domba itu, yang sudah dipanggang, bersama apam fatir dan gulai yang pahit. "Maka dengan demikian  hendaklah kamu makan dia," firman‑Nya, "yaitu dengan berikat pinggangmu dan berkasut kakimu dan tongkat pada tanganmu, maka hendaklah kamu makan dia dengan bersegera‑segera, yaitu Paskah Tuhan." Tengah malam semua anak sulung orang‑orang Mesir mati terbunuh. Kemudian raja mengirimkan kabar kepada bangsa Israel, "Berangkatlah kamu; keluarlah dari antara segala rakyatku, . . . pergilah kamu berbuat bakti kepada Tuhan, setuju dengan katamu." Orang‑orang Ibrani itu pergi keluar dari Mesir sebagai satu bangsa yang merdeka. Tuhan telah memerintahkan supaya pesta Paskah itu diselenggarakan tiap tahun. "Maka akan jadi kelak," la bersabda, "apabila anakmu bertanya akan kamu: Apakah kebaktian yang pada kamu ini? Hendaklah kamu menyahut: Inilah korban paskah bagi Tuhan, yang lalu daripada segala rumah bangsa Israel dalam negeri Mesir tatkala dipalu‑Nya segala orang Mesir, maka dilindungkan‑Nya segala rumah kita." Demikianlah dari ke­turunan kepada keturunan hikayat tentang kelepasan yang ajaib ini harus diulangi.
Paskah itu disusul dengan pesta roti yang tidak beragi yang lamanya tujuh hari. Pada hari yang kedua dari pesta tersebut, buah bungaran dari panen tahun itu, seberkas syeir, dipersembahkan di hadirat Tuhan. Segenap upacara pesta itu membayangkan pekerjaan Kristus. Kelepasan bangsa Israel dari Mesir adalah satu pelajaran yang membayangkan penebusan, dan untuk itu Paksah dimaksudkan untuk mengingatkannya. Domba yang disembelih, roti yang tidak beragi, buah bungaran itu, membayangkan Juruselamat.
Bagi kebanyakan orang pada zaman Kristus, pemeliharaan pesta ini telah merosot menjadi sekadar hari raya upacara saja. Tetapi betapa besar artinya bagi Putra Allah!
Inilah kali yang pertama Yesus melihat bait suci. Ia melihat imam‑imam yang berjubah putih melakukan tugas mereka dengan penuh khidmat. Ia melihat korban yang bergelimangan darah di atas mezbah korban. Bersama dengan orang‑orang yang berbakti la tunduk berdoa, sementara asap dupa naik di hadirat Allah. Ia menyaksikan upacara Paskah yang mengesankan itu. Hari demi hari Ia melihat arti semuanya dengan bertambah jelas. Tiap perbuatan tampaknya terikat dengan hidup‑Nya sendiri. Getaran‑getaran baru timbul dalam dada‑Nya. Dengan tenang dan penuh perhatian, la nampaknya mempelajari sebuah soal yang pelik. Rahasia tugas‑Nya sedang terbuka bagi Juruselamat.
Karena terlalu asyiknya memikirkan peristiwa ini, la tidak tinggal tetap di samping orang tua‑Nya. Ia berusaha menyendiri. Sesudah upacara‑upacara Paskah itu berakhir, Ia masih tinggal di halaman bait suci itu; dan setelah semua orang yang berbakti meninggalkan Yerusalem, Ia ketinggalan di sana.
Dalam kunjungan ke Yerusalem ini, orangtua Yesus ingin memperkenalkan Dia dengan guru‑guru besar di kalangan orang Israel. Meskipun Ia taat dalam segala hal pada firman Allah, la tidak menyesuaikan diri dengan segala upacara dan kebiasaan rabi‑rabi itu. Yusuf dan Maria mengharap supaya la dapat dipimpin untuk menghormati rabi‑rabi yang terpelajar itu, dan memberikan perhatian yang lebih besar kepada tuntutan‑tuntutan mereka. Tetapi Yesus dalam bait suci itu sudah diajar oleh Allah. Apa yang telah diterima‑Nya, dengan segera mulai diberikan‑Nya.
Pada zaman itu sebuah ruangan yang dihubungkan dengan bait suci dijadikan sekolah suci, menurut cara sekolah nabi‑nabi. Di sinilah rabi‑rabi yang terkemuka berhimpun dengan murid‑muridnya dan ke sinilah Yesus datang. Setelah duduk di kaki orang‑orang yang terpelajar dan disegani ini Ia mendengarkan pengajaran mereka. Selaku seorang yang suka menuntut hikmat, ditanyai‑Nya guru‑guru itu tentang nubuatan‑‑nubuatan dan tentang peristiwa‑peristiwa yang sedang terjadi pada waktu itu, yang menunjuk kepada kedatangan Mesias.


Yesus menunjukkan diri‑Nya sebagai seorang yang haus akan pengetahuan tentang Allah. Pertanyaan‑pertanyaan‑Nya mengandung kebenaran‑kebenaran yang dalam yang sudah lama tersembunyi, namun yang mutlak bagi keselamatan jiwa. Sementara menyatakan betapa sempit dan dangkal adanya pengetahuan orang‑orang pintar itu, setiap pertanyaan membuka bagi mereka suatu pelajaran Ilahi, serta menaruh kebenaran dalam segi pandangan yang baru. Rabi‑rabi itu berbicara tentang kemuliaan ajaib yang akan dibawa oleh kedatangan Mesias kepada bangsa Yahudi; tetapi Yesus menyebutkan nubuatan nabi Yesaya lalu menanyakan kepada mereka apa arti tulisan‑tulisan yang menunjuk kepada penderitaan serta kematian Anak Domba Allah.
Doktor‑doktor itu berpaling kepada‑Nya dengan pertanyaan‑pertanyaan, dan mereka keheran‑heranan mendengar segala jawab‑Nya. Dengan kerendahan hati seorang anak kecil Ia mengulangi ayat Alkitab, memberikan kepadanya arti yang begitu dalam, yang belum pernah diselami oleh orang‑orang pandai itu. Seandainya diturut, maka garis‑garis kebenaran yang ditunjukkan‑Nya itu niscaya sudah melahirkan suatu reformasi dalam agama zaman itu. Perhatian yang tekun dalam soal‑soal kerohanian niscaya sudah timbul; dan apabila Yesus memulai pekerjaan‑Nya, banyaklah orang yang akan bersedia untuk menerima Dia.
Rabi‑rabi itu tahu bahwa Yesus belum pernah dididik di sekolah mereka; namun pengertian‑Nya tentang nubuatan‑nubuatan jauh melampaui pengertian mereka. Dalam diri anak Galilea yang cerdas ini mereka melihat banyak kemungkinan yang besar. Mereka ingin mendapat Dia sebagai murid, supaya Ia menjadi guru di kalangan orang Israel. Mereka ingin bertanggung jawab atas pendidikan‑Nya, dengan merasa bahwa pikiran yang demikian aslinya wajib ditaruh di bawah asuhan mereka.
Perkataan Yesus telah menggerakkan hati mereka sebagaimana belum pernah dulu digerakkan oleh ucapan yang keluar dari bibir manusia. Allah sedang berusaha hendak memberikan terang kepada para pemimpin Israel, dan la menggunakan satu‑satunya ikhtiar yang dengan itu mereka dapat dicapai. Dalam kesombongannya mereka niscaya akan merasa tidak suka mengaku bahwa mereka dapat menerima pelajaran dari seseorang. Sekiranya Yesus tampak seakan‑akan berusaha hendak mengajar mereka, sudah tentu mereka tidak akan mau mendengarkan‑Nya. Tetapi mereka membanggakan diri sendiri bahwa mereka sedang mengajar Dia, atau sekurang‑kurangnya menguji pengetahuan‑Nya akan Alkitab. Kesederhanaan serta budi pekerti kemudaan Yesus melenyapkan segenap prasangka mereka.
Dengan tidak sadar pikiran mereka terbuka bagi firman Allah, dan Roh Suci berbicara kepada hati mereka.
Tak dapat tidak mereka harus sadar bahwa pengharapan mereka tentang Mesias tidak disokong oleh nubuatan; tetapi mereka tidak mau meninggalkan teori‑teori yang telah membesar‑besarkan cita‑cita mereka. Mereka tidak mau mengaku bahwa mereka sudah salah mengerti akan Alkitab yang mereka ajarkan itu. Dari seorang kepada seorang beredarlah pertanyaan, Bagaimanakah anak muda ini mendapat pengetahuan, sedangkan ia tidak pernah belajar? Terang sudah bersinar dalam kegelapan; tetapi "kegelapan itu tidak menguasainya." Yoh. 1:5 .


Dalam pada itu Yusuf dan Maria sudah sangat bingung dan susah. Ketika berangkat dari Yerusalem mereka sudah tidak melihat Yesus, dan mereka tidak tahu bahwa Ia tinggal di sana. Pada waktu itu negeri itu penuh sesak dengan manusia, dan kalifah‑kalifah dari Galilea amat besar. Suasana sungguh kacau sekali ketika mereka meninggalkan kota. Di tengah jalan kesukaan berjalan dengan sahabat‑sahabat dan handai‑taulan memenuhi perhatian mereka, sehingga mereka tidak memperhatikan bahwa Ia tidak ada di situ hingga malam tiba. Kemudian ketika mereka berhenti hendak beristirahat, mereka kehilangan tangan anak mereka yang selalu siap sedia membantu. Karena menyangka bahwa la ada dalam rombongan itu, mereka tadinya tidak merasa cemas. Muda seperti Dia itu, mereka telah percaya kepada‑Nya dengan tiada syak, mengharap bahwa bila diperlukan, la tentu akan bersedia hendak membantu mereka, mengharapkan adanya keperluan‑keperluan mereka sebagaimana kebiasaan‑Nya. Tetapi saat ini kekuatiran mereka timbul. Mereka mencari Dia di seluruh rombongan mereka itu, tetapi sia‑sia belaka. Dengan perasaan gemetar mereka teringat bagaimana Herodes sudah mencoba hendak membinasakan Dia waktu la masih bayi. Kekuatiran hebat memenuhi hati mereka. Dipersalahkannya diri sendiri dengan amat sangat.
Setelah kembali ke Yerusalem, mereka terus‑menerus mencari. Keesokan harinya, sedang mereka bersama‑sama dengan orang‑orang yang berbakti, suatu suara yang mereka kenal menarik perhatian mereka. Tidak mungkin salah lagi; tiada suara lain yang serupa dengan suara‑Nya, begitu singgah dan tekun namun begitu manis lagunya.
Di sekolah rabi‑rabi itu mereka menemukan Yesus. Meskipun sangat bersuka, mereka tidak dapat melupakan kesusahan serta kekuatiran mereka yang telah lalu. Sesudah Ia bersama‑sama dengan mereka kembali, ibu itu berkata, dalam perkataan yang mengandung teguran, "Hai Anakku, mengapa Engkau berbuat demikian akan kami? bahwa bapa‑Mu dan aku mencari Engkau dengan susah hati."
Mengapa Aku kamu cari?" sahut Yesus. "Tidakkah kamu tahu, bahwa tak dapat tidak adalah Aku dalam rumah Bapa‑Ku?" Dan waktu mereka tampaknya tidak mengerti perkataan‑Nya itu, Ia menunjuk ke atas. Pada wajah‑Nya tampaklah seperti sinar yang mengherankan mereka. Keilahian sedang memancar dari kemanusiaan. Ketika menemukan Dia di dalam bait suci, mereka sempat mendengar apa yang berlangsung antara Dia dan rabi‑rabi itu, dan mereka tercengang‑cengang mendengar segala pertanyaan dan jawab‑Nya. Perkataan‑Nya melahirkan serentetan buah pikiran yang tidak pernah akan terlupakan.
Dan pertanyaan‑Nya kepada mereka mengandung suatu pelajaran. "Tidakkah kamu tahu," kata‑Nya, "bahwa tak dapat tidak adalah Aku dalam rumah Bapa‑Ku?" Yesus sedang mengerjakan pekerjaan yang Ia telah datang ke dunia ini untuk mengerjakannya; tetapi Yusuf dan Maria sudah melalaikan pekerjaan mereka sendiri. Allah telah mengaruniai mereka kehormatan besar dalam mempercayakan Putra‑Nya kepada mereka. Malaikat‑malaikat suci telah memimpin perjalanan Yusuf untuk menjaga nyawa Yesus. Tetapi sehari suntuk Mereka telah kehilangan Dia yang seharusnya tidak boleh mereka lupakan sekejap mata pun. Maka apabila kekuatiran hati mereka sudah lalu, mereka bukannya mempersalahkan diri sendiri, melainkan melemparkan kesalahan itu kepada‑Nya.
Adalah wajar bagi orangtua Yesus untuk menganggap Dia sebagai anak mereka sendiri. Ia ada di antara mereka setiap hari, kehidupan‑Nya dalam banyak hal adalah serupa dengan kehidupan anak‑anak yang lain, sehingga sukarlah bagi mereka untuk menginsafi bahwa lalah Putra Allah. Mereka hampir gagal untuk menghargai berkat yang dikaruniakan kepada mereka dalam hadirat Penebus dunia. Kesusahan hati akibat perpisahan mereka dari Dia, dan teguran halus yang terkandung dalam perkataan‑Nya itu, dimaksudkan untuk mengingatkan kepada mereka betapa sucinya tanggung jawab yang diserahkan kepada mereka.


Dalam jawab‑Nya kepada ibu‑Nya, Yesus menunjukkan untuk pertama kalinya bahwa la mengerti hubungan‑Nya dengan Allah. Sebelum la lahir malaikat telah berkata kepada Maria, "Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya, dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya." Lukas 1:32, 33. Perkataan ini sudah direnungkan Maria dalam hatinya; namun meskipun ia yakin bahwa anaknya itu harus menjadi Mesias bagi umat Israel, ia tidak mengerti akan tugas‑Nya. Kini ia tidak mengerti akan perkataan‑Nya; tetapi ia tahu bahwa Anaknya itu telah menyangkal tali kekeluargaan dengan Yusuf, dan telah menyatakan bahwa Ialah Putra Allah.
Yesus tidak mengabaikan hubungan‑Nya dengan orang tua‑Nya yang di dunia ini. Dari Yerusalem Ia pulang ke rumah bersama mereka, dan Ia membantu mereka dalam pekerjaan sehari‑hari. Ia menyembunyikan rahasia tugas‑Nya  dalam hati‑Nya sendiri, menanti dengan taat saat yang telah ditentukan bagi‑Nya untuk memulai pekerjaan‑Nya. Delapan belas tahun lamanya sesudah Ia mengakui bahwa Ialah Putra Allah, Ia mengakui tali yang mengikatkan Dia ke rumah tangga yang di Nazaret dan melakukan segala kewajiban seorang anak, seorang saudara, seorang sahabat, dan seorang warga negara.
Oleh karena tugas‑Nya sudah terbuka bagi Yesus dalam bait suci, la menghindari hubungan dengan orang banyak. Ia ingin pulang dari Yerusalem dengan diam‑diam, bersama dengan mereka yang tahu akan rahasia hidup‑Nya. Oleh upacara Paskah, Allah sedang berusaha hendak memanggil umat‑Nya keluar dari segala kesusahan duniawi serta mengingatkan mereka akan segala perbuatan‑Nya yang ajaib dalam kelepasan mereka dari Mesir. Dalam perbuatan ini Ia ingin supaya mereka melihat suatu janji kelepasan dari dosa. Sebagaimana darah anak domba yang disembelih itu melindungi rumah tangga bangsa Israel, demikian juga darah Kristus akan menyelamatkan jiwa mereka;.tetapi mereka dapat diselamatkan oleh Kristus hanya apabila oleh percaya mereka membuat hidup‑Nya menjadi hidup mereka sendiri. Adalah rahmat dalam upacara‑upacara beralamat, hanya apabila ditujukannya orang‑orang yang berbakti itu kepada Kristus sebagai Juruselamat pribadi mereka. Allah menghendaki agar mereka dituntun ke arah penyelidikan serta renungan yang disertai doa tentang tugas Kristus. Tetapi sesudah orang banyak itu meninggalkan Yerusalem, kegembiraan sepanjang perjalanan dan percakapan dengan teman‑teman terlalu sering memenuhi perhatian mereka, sehingga upacara yang baru saja mereka saksikan itu dilupakan. Juruselamat tidaklah tertarik kepada rombongan mereka itu.


Ketika Yusuf dan Maria pulang dari Yerusalem tersendiri dengan Yesus, Ia berharap hendak menujukan pikiran mereka kepada nubuatan‑nubuatan tentang Juruselamat yang akan menderita. Di atas Bukit Golgota Ia berusaha meringankan dukacita ibu‑Nya. Kini Ia tengah memikirkan tentang ibu‑Nya. Maria harus menyaksikan penderitaan‑Nya yang terakhir, dan Yesus menghendaki agar ia mengerti tugas‑Nya, supaya ia dapat menjadi kuat untuk menderita, manakala pedang itu menerusi jiwanya nanti. Sebagaimana Yesus telah terpisah daripadanya dan ia telah mencari Dia dengan diliputi dukacita tiga hari lamanya, demikian juga bila Ia dipersembahkan karena dosa‑dosa dunia ini, Ia akan terpisah pula daripadanya tiga hari lamanya. Maka apabila Ia keluar dari kubur, dukacitanya akan berubah pula menjadi sukacita. Tetapi ia akan jauh lebih kuat menanggung kesengsaraan karena kematian‑Nya sekiranya ia mengerti segala nubuatan ke arah mana Yesus kini mencoba mengalihkan segala pikirannya.
Sekiranya Yusuf dan Maria telah memusatkan pikiran mereka pada Allah dengan renungan dan doa, niscaya mereka sudah menginsafi betapa sucinya tanggung jawab yang telah dipercayakan kepada mereka dan mereka tidak akan kehilangan Yesus. Karena kelengahan sehari mereka kehilangan Juruselamat; tetapi mereka harus mencari dengan perasaan cemas selama tiga hari untuk menemukan Dia. Demikian juga halnya dengan kita; dengan perkataan sia‑sia, fitnahan, atau kelalaian berdoa, mungkin kita pada satu hari kehilangan hadirat Juruselamat, lalu mungkin memerlukan berhari‑hari lamanya untuk mendapat Dia dengan susah‑payah, serta memperoleh kembali damai yang telah hilang daripada kita.
Dalam pergaulan kita satu sama lain, kita harus berhati‑hati supaya jangan kita melupakan Yesus, dan berjalan terus dengan tiada mengingat bahwa Ia tidak bersama kita. Apabila hati kita sudah penuh dengan hal‑hal duniawi sehingga kita tidak lagi menaruh ingatan akan Dia yang dalamnya berkisar harapan kita akan hidup kekal, kita memisahkan diri kita dari Yesus dan dari malaikat‑malaikat surga. Makhluk‑makhluk suci tidak dapat tinggal di tempat hadirat Yesus yang tidak diingini, dan ketiadaan hadirat‑Nya tidak diperhatikan. Inilah sebabnya mengapa perasaan tawar hati begitu sering dialami oleh orang‑orang yang mengaku pengikut Kristus.
Banyak orang menghadiri acara kebaktian, dan mereka disegarkan serta dihiburkan oleh firman Allah; tetapi oleh kelalaian dalam mengadakan renungan, dalam hal berjaga dan doa, mereka kehilangan berkat, dan merasa diri mereka lebih hampa daripada sebelum mereka mendapatnya. Acapkali mereka merasa bahwa Allah telah berlaku keras terhadap mereka. Mereka tidak melihat bahwa kesalahan itu adalah pada pihak mereka sendiri. Dengan menjauhkan diri dari Yesus, mereka telah menutup pintu bagi cahaya hadirat‑Nya.
Alangkah baiknya kalau kita menggunakan waktu sejam lamanya setiap hari untuk merenungkan kehidupan Kristus. Kita harus merenungkannya satu per satu, serta membiarkan angan‑angan kita membayangkan setiap peristiwa, terutama peristiwa‑peristiwa terakhir. Kalau kita memikir‑mikirkan pengorbanan‑Nya yang besar itu untuk kita, keyakinan kita pada‑Nya akan makin menjadi tetap, kasih kita dihidupkan, dan kita akan makin penuh dengan Roh‑Nya. Kalau kita mau diselamatkan kelak, kita harus mempelajari pelajaran pertobatan dan kerendahan hati di kaki salib.
Sementara kita bergaul bersama, kita dapat menjadi berkat bagi satu sama lain. Kalau kita milik Kristus, pikiran‑pikiran kita yang paling manis ialah tentang Dia. Kita akan suka berbicara tentang Dia; maka sementara kita berbicara kepada satu sama lain tentang kasih‑Nya, hati kita pun akan dihaluskan oleh pengaruh Ilahi. Oleh memandang keindahan tabiat‑Nya, kita akan "diubahkan oleh Roh Tuhan, daripada kemuliaan sampai kepada kemuliaan."


--------------
Pasal ini didasarkan atas Lukas 2:41-51



No comments:

Post a Comment