Ads Google

Sunday, January 23, 2011

Kisah Pohon Apel

Kisah Pohon Apel

Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki yang
senang bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari. Ia senang
memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya, tidur-tiduran di
keteduhan rindang daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat mencintai
pohon apel itu. Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil
itu.

Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan
tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya. Suatu
hari ia mendatangi pohon apel. Wajahnya tampak sedih.
"Ayo ke sini bermain-main lagi denganku," pinta pohon apel itu.
"Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi."jawab anak
lelaki itu. "Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya
uang untuk membelinya.

"Pohon apel itu menyahut, "Duh, maaf aku pun tak punya uang... tetapi
kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa
mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu."
Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang
ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita. Namun, setelah itu
anak lelaki tak pernah datang lagi. Pohon apel itu kembali sedih.

Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat senang
melihatnya datang. "Ayo bermain-main denganku lagi." kata pohon apel.
"Aku tak punya waktu," jawab anak lelaki itu."Aku harus bekerja untuk
keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau
menolongku?"

"Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah. Tapi kau boleh menebang semua
dahan rantingku untuk membangun rumahmu." kata pohon apel. Kemudian
anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu dan
pergi dengan gembira. Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak
lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi.
Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.

Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel merasa
sangat bersuka cita menyambutnya. "Ayo bermain-main lagi deganku."
kata pohon apel. "Aku sedih," kata anak lelaki itu. "Aku sudah tua
dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah
kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?"

"Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang
tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah
berlayar dan bersenang- senanglah. Kemudian, anak lelaki itu memotong
batang pohon apel itu dan membuat kapal yang diidamkannya. Ia lalu
pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui pohon apel itu.

Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian.
"Maaf anakku," kata pohon apel itu. "Aku sudah tak memiliki buah apel
lagi untukmu." "Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk
mengigit buah apelmu." Jawab anak lelaki itu. "Aku juga tak memiliki
batang dan dahan yang bisa kau panjat." Kata pohon apel. "Sekarang,
aku sudah terlalu tua untuk itu." jawab anak lelaki itu. "Aku benar-
benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan  padamu. Yang
tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini." Kata
pohon apel itu sambil menitikkan air mata.

"Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang." kata anak lelaki.
"Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah
setelah sekian lama meninggalkanmu." "Oooh, bagus sekali. Tahukah
kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan
beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan
beristirahatlah dengan tenang." Anak lelaki itu berbaring di pelukan
akar-akar pohon. Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil
meneteskan air matanya.

Ini adalah cerita tentang kita semua. Pohon apel itu adalah orang tua
kita.  Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu
kita.  Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya
datang ketika  kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan. Tak
peduli apa pun, orang tua  kita akan selalu ada di sana untuk
memberikan apa yang bisa mereka berikan  untuk membuat kita bahagia.
Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah bertindak sangat
kasar pada pohon itu, tetapi begitulah cara kita memperlakukan orang
tua kita.

Sebarkan cerita ini untuk mencerahkan lebih banyak rekan. Dan, yang
terpenting: cintailah orang tua kita. Sampaikan pada orang tua kita
sekarang, betapa kita mencintainya; dan berterima  kasih atas seluruh
hidup yang telah dan akan diberikannya pada kita.