Ads Google

Tuesday, March 31, 2020

Pasal 19 DI SUMUR YAKUB


Pasal 19

DI SUMUR YAKUB

DALAM perjalanan ke Galilea Yesus berjalan melalui Samaria. Kira‑kira tengah hari tibalah Ia di lembah Sikhem yang permai. Pada permulaan lembah ini terdapat sumur Yakub. Karena sudah letih dari perjalanan‑Nya, duduklah Ia di sini untuk beristirahat sementara murid‑murid‑Nya pergi membeli makanan.
Bangsa Yahudi dan bangsa Samaria bermusuhan keras dan sedapat‑dapatnya menghindarkan segala hubungan satu dengan yang lain. Berjual beli dengan orang Samaria dalam keadaan perlu dianggap sah oleh rabbi‑rabbi; tetapi semua urusan sosial dengan mereka dilarang. Seorang Yahudi tidak mau meminjam dari orang Samaria, atau pun menerima sesuatu kebaikan bahkan sesuap roti atau secangkir air sekali pun. Dalam membeli makanan itu, murid‑murid bertindak sesuai dengan adat bangsa mereka. Tetapi mereka tidak berbuat lebih dari itu. Meminta pertolongan dari orang Samaria, atau dengan cara apa pun berusaha menolong mereka, tidak masuk akal bagi murid‑murid Kristus sekali pun.
--------------
Pasal ini didasarkan atas Yohanes 4:1-42.

Sedang Yesus duduk di pinggir sumur itu, Ia merasa lemas karena lapar dan haus. Sudah jauh sekali perjalanan yang ditempuh sejak paginya, dan sekarang teriknya panas matahari lohor sedang menimpa Dia. Dahaga‑Nya semakin terasa mengingat air sejuk dan menyegarkan yang begitu dekat, namun yang tidak dapat diperoleh‑Nya; sebab Ia tidak punya tali atau pun timba, sedangkan sumur itu dalam. Ia menderita nasib manusia, maka dinantikan‑Nyalah orang datang menimba air.
Seorang wanita Samaria datang, dan seolah‑olah tidak sadar akan hadirat‑Nya, ia mengisi kendinya dengan air. Waktu ia berpaling hendak pergi, Yesus meminta air minum daripadanya. Permintaan yang begitu tidak akan ditolak oleh orang Timur manapun. Di Timur, air disebut pemberian Allah." Menawarkan air minum kepada seorang pengembara yang haus dianggap sebagai suatu kewajiban yang begitu suci sehingga orang Arab di padang belantara mau menyimpang daripada perjalanannya agar dapat melakukannya. Kebencian antara orang Yahudi dan orang Samaria menegahkan wanita itu daripada menawarkan sesuatu kebajikan kepada Yesus; tetapi Juruselamat sedang berusaha hendak mendapatkan kunci hati wanita itu, dan dengan kecerdikan yang lahir dari kasih Ilahi, Ia meminta pertolongan, bukan menawarkannya. Tawaran kebajikan mungkin akan ditolak; tetapi percaya menggugah percaya. Raja surga datang kepada jiwa terbuang ini, memohonkan layanan daripadanya. Dia yang menjadikan laut, yang mengendalikan samudera luas lepas, yang membuka segala mata air dan saluran di bumi ini, mengasuh kepenatan-Nya di sumur Yakub, dan bergantung pada keridlaan seorang yang tidak dikenal untuk pemberian secangkir air minum saja.
Wanita itu melihat bahwa Yesus adalah seorang Yahudi. Dalam keheranannya ia lupa mengabulkan permintaan‑Nya itu, tetapi berusaha mempelajari sebab‑sebab permintaan itu. "Bagaimana ini," sahutnya, "maka Tuan, orang Yahudi, minta minum kepada sahaya, seorang perempuan Samaria?"
Yesus menjawab, "Jikalau kiranya engkau mengetahui akan anugerah Allah dan lagi siapa Dia, yang berkata kepadamu, Berilah Aku minum; niscaya engkau kelak meminta kepada‑Nya, lalu diberikan‑Nya kepadamu air hidup." Engkau heran mengapa Aku meminta daripadamu pertolongan yang begitu kecil yaitu seteguk air dari sumur yang di kaki kita ini. Sekiranya engkau meminta daripada‑Ku, maka Aku tentu mernberi kepadamu air hidup yang kekal.
Wanita itu belum mengerti akan ucapan Kristus itu, akan tetapi ia merasakan maknanya yang dalam. Caranya yang sepele dan menantang itupun mulailah berubah. Karena menyangka bahwa Yesus berbicara tentang sumur yang di depan mereka, ia pun berkata, "Ya Tuan, satu pun tiada pada Tuan, yang boleh dibuat timba; lagi perigi ini dalam, dari mana gerangan Tuan  beroleh air hidup itu? Lebih besarkah Tuan daripada Yakub, moyang kami, yang memberikan kepada kami perigi ini, dan daripadanya juga ia minum sendiri?" Ia melihat di depannya hanya seorang pengembara yang kehausan, letih dari perjalanan dan penuh debu. Dalam pikirannya dibandingkannya Dia dengan Yakub, nenek moyang yang terhormat itu. Ia merasa bangga dengan sewajarnya bahwa tidak ada sumur lain lagi yang dapat disamakan dengan sumur yang disediakan oleh nenek moyang itu. Ia sedang menoleh ke belakang kepada para nenek moyang, dan ke depan ke hari kedatangan Mesias itu, sementara Harapan segala nenek moyang itu, yakni Mesias Sendiri, sudah berada di sampingnya, tetapi ia tidak mengenal Dia. Betapa banyaknya jiwa yang haus sekarang ini ada di dekat pancaran air hidup, namun mereka memandang jauh untuk mendapat mata air hidup! "Jangan katakan di dalam hatimu: Siapakah akan naik ke surga?, yaitu: untuk membawa Yesus turun, atau: 'Siapakah akan turun ke jurang maut?', yaitu: untuk membawa Kristus naik dari antara orang mati.... Firman itu dekat kepadamu, yakni di dalam mulutmu dan di dalam hatimu.... Jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan." Roma 10:6‑9.
Yesus tidak segera menjawab pertanyaan yang mengenai diri‑Nya itu, tetapi dengan kesungguhan yang tekun Ia berkata, "Barang siapa yang minum air ini, ia kelak akan berdahaga pula; tetapi barang siapa yang minum air, yang Kuberikan kepadanya, sekali‑kali tidak ia akan berdahaga lagi, karena ada pun air yang Kuberikan kepadanya itu akan menjadi di dalamnya suatu mata air, yang berpencar‑pencar sampai kepada hidup yang kekal."
Orang yang berusaha memuaskan dahaganya pada mata air dunia ini, akan minum hanya untuk kemudian haus lagi. Di mana‑mana manusia tidak merasa puas. Mereka itu senantiasa mengingini sesuatu untuk memenuhi kebutuhan jiwa. Hanya seorang yang dapat memenuhi kebutuhan itu. Kebutuhan dunia ini, "kegemaran segala bangsa," ialah Kristus. Rahmat Ilahi yang dapat dikaruniakan hanya oleh‑Nya sendiri, adalah seperti air hidup yang menyucikan, menyegarkan, serta menguatkan jiwa.
Yesus tidak mengemukakan pendapat bahwa hanya seteguk air hidup saja akan memuaskan dahaga sipenerima itu. Orang yang mengecap kasih Kristus pasti akan selalu merindukan lebih banyak lagi; tetapi ia tidak mencari apa‑apa lagi selain itu. Kekayaan, kehormatan, dan kesenangan dunia ini tidak menarik hatinya lagi. Seruan yang tetap dari hatinya ialah,"Lebih banyak daripada‑Mu." Maka Dia yang menyatakan kepada jiwa tentang kebutuhannya, menanti untuk memuaskan lapar dan dahaganya. Setiap sumber dan persandaran manusia akan gagal. Segala tempat cadangan air akan menjadi kosong, dan segala kolam akan menjadi kering; akan tetapi Juruselamat kita adalah suatu mata air yang tak kering‑keringnya. Kita boleh minum, dan minum lagi, dan selamanya mendapat persediaan yang segar. Ia yang di dalamnya Kristus bersemayam, memiliki di dalam dirinya sendiri mata air berkat,‑‑"suatu mata air, yang berpencar‑pencar sampai kepada hidup yang kekal." Dari sumber ini ia dapat menimba tenaga dan rahmat yang cukup untuk segala keperluannya.
Ketika Yesus berbicara tentang air hidup itu, wanita itu memandang kepada‑Nya dengan perhatian yang penuh kekaguman. Ia telah membangkitkan perhatian wanita itu, serta membangunkan suatu kerinduan untuk memperoleh karunia yang dikatakan‑Nya itu. Wanita itu mengerti bahwa bukannya air sumur Yakub itu yang dibicarakan‑Nya; sebab air sumur ini selalu dipakainya, diminumnya, dan haus kembali. "Ya Tuhan," katanya, "berikanlah kiranya air itu kepada sahaya, supaya jangan lagi sahaya berdahaga dan tak usah lagi sahaya datang kemari menimba."
Kini Yesus dengan mendadak mengalihkan pembicaraan itu. Sebelum jiwa ini dapat menerima karunia yang hendak dianugerahkan‑Nya itu, ia harus diajar dulu untuk mengenal dosanya dan Juruselamatnya. "Sahut Yesus kepada perempuan itu: Pergilah engkau, panggillah lakimu, lalu datang kemari." Sahutnya, "Tidak sahaya berlaki." Demikianlah ia mengharap akan mencegah segala pertanyaan ke arah itu. Tetapi Juruselamat melanjutkan "Benarlah katamu ini, bahwa tidak engkau berlaki. Karena lima orang sudah lakimu dan yang sekarang ini padamu itu bukan lakimu. Benarlah katamu itu."
Pendengar itu gemetar. Suatu tangan ajaib sedang membuka lembaran riwayat hidupnya, serta mempertunjukkan apa yang telah diharapkannya akan tersembunyi selama‑lamanya. Siapakah gerangan Dia yang dapat membaca segala rahasia hidupnya ini? Teringatlah ia akan perkara‑perkara yang kekal, tentang Hari Pehukuman yang akan datang, apabila segala perkara yang tersembunyi sekarang ini akan dinyatakan kelak. Mengingat hal itu, tergugahlah angan‑angan hatinya.
Suatu pun tidak dapat disangkalnya; tetapi ia berusaha mengelakkan semua sebutan tentang sesuatu pokok pembicaraan yang tidak terlalu disukai. Dengan rasa hormat yang sungguh, berkatalah ia,"Ya Tuan, nyatalah kepada sahaya bahwa Tuan ini seorang nabi." Lalu, dengan berharap hendak mendiamkan keyakinan itu. beralihlah ia kepada pokok‑pokok pertentangan agama. Jika ia seorang nabi, sudah tentu Ia dapat memberikan kepadanya petunjuk tentang persoalan yang sudah sekian lamanya diperdebatkan .
Dengan sabarnya Yesus membiarkan dia menuntun percakapan itu sekehendak hatinya. Sementara itu dinantikan‑Nya kesempatan untuk menjelaskan kebenaran itu dalam hatinya "Ada pun nenek moyang kami memang sembahyang di atas bukit ini, maka kata kamu bahwa Yerusalem itulah tempat yang patut orang sembahyang." Gunung Gerizim nampak dari tempat itu. Kaabahnya sudah dimusnahkan, dan hanya mezbahnya yang masih ada. Tempat sembahyang itu telah menjadi pokok perbantahan antara orang Yahudi dan orang Samaria. Beberapa dari nenek moyang bangsa yang belakangan ini dahulu pernah termasuk bangsa Israel; tetapi karena dosa‑dosanya, Tuhan membiarkan mereka dikalahkan oleh sesuatu bangsa penyembah berhala. Turun temurun mereka bercampur gaul dengan para penyembah berhala, yang agamanya berangsur‑angsur menajiskan agama mereka sendiri. Memang mereka percaya bahwa berhala‑berhala mereka hanyalah untuk mengingatkan mereka tentang Allah yang hidup, Pemerintah alam semesta; namun orang terpengaruh untuk menghormati patung‑patung ukiran mereka itu.
Ketika kaabah di Yerusalem dibangun kembali pada zaman Ezra, bangsa Samaria itu ingin menggabungkan diri dengan bangsa Yahudi dalam pembangunan itu. Kesempatan mulia ini tidak diberikan kepada mereka, dan timbullah perseteruan yang pahit antara kedua bangsa itu. Bangsa Samaria membangun kaabah saingan di Bukit Gerizim. Di sini mereka berbakti sesuai dengan upacara keagamaan Musa, sungguh pun mereka tidak meninggalkan penyembahan berhala seluruhnya. Tetapi malapetaka menimpa mereka, kaabah itu dibinasakan oleh musuh‑musuh mereka, dan nampaknya mereka itu seolah‑olah terkutuk; namun mereka masih berpaut pada tradisitradisi dan upacara‑upacara perbaktian mereka. Mereka tidak mau mengakui kaabah di Yerusalem itu sebagai rumah Allah, ataupun mengakui bahwa agama bangsa Yahudi itu lebih unggul daripada agama mereka.
Untuk menjawab pertanyaan wanita itu, Yesus berkata, "Percayalah akan Daku, bahwa waktunya akan datang kelak, apabila kamu akan menyembah Bapa bukan di atas bukit ini dan bukan pula di Yerusalem. Bahwa kamu menyembah barang yang tidak karnu ketahui, tetapi kami menyembah Dia yang kami ketahui, karena selamat itu datang daripada orang Yahudi." Yesus telah menunjukkan bahwa Ia bebas dari prasangka bangsa Yahudi terhadap bangsa Samaria. Sekarang Ia berusaha hendak merubuhkan prasangka wanita Samaria itu terhadap orang Yahudi. Sementara menunjuk kepada kenyataan bahwa iman bangsa Samaria sudah dinajiskan oleh penyembahan berhala Ia mengatakan bahwa kebenaran‑kebenaran utama tentang penebusan telah diamanatkan kepada bangsa Yahudi, dan bahwa dari antara mereka itulah Mesias akan datang. Dalam tulisan‑tulisan Suci mereka mendapat keterangan yang jelas tentang tabiat Allah dan azas‑azas pemerintahan‑Nya. Yesus menggolongkan diri‑Nya sendiri dengan bangsa Yahudi sebagai bangsa yang telah dikaruniai Allah suatu pengetahuan tentang diri‑Nya.
Ia ingin mengangkat pikiran para pendengar‑Nya di atas soal‑soal yang menyangkut tatacara dan upacara belaka, serta soal‑soal pertentangan. 'Waktunya datang kelak," kata‑Nya, "Sekarang pun ada, apabila orang sembahyang dengan sebenarnya itu akan menyembah Bapa dengan roh dan kebenaran, karena orang yang sembahyang demikian yaitu yang dikehendaki oleh Bapa. Bahwa Allah itu Roh adanya; maka orang yang menyembah Dia, haruslah mereka itu menyembah Dia dengan Roh dan kebenaran." 
Di sini dimaklumkan kebenaran itu juga yang telah dinyatakan oleh Yesus kepada Nikodemus ketika Ia berkata, "Jikalau orang tidak jadi semula, maka tak dapat ia melihat kerajaan Allah." Yohanes 3:3. Bukannya oleh mencari sesuatu gunung yang suci atau sesuatu kaabah yang suci maka manusia dibawa ke dalam persekutuan dengan surga. Agama tidak boleh dibatasi di dalam upacara secara lahir saja. Agama yang berasal daripada Allah ialah satu‑satunya agama yang akan menuntun kepada Allah. Untuk dapat berbakti kepada‑Nya dengan benar, kita harus dilahirkan dari Roh Ilahi. Ini akan menyucikan hati serta nembaharui pikiran, memberikan kepada kita suatu kesanggupan yang baru untuk mengenal serta mengasihi Allah. Akan diberikannya kepada kita sesuatu penurutan sukarela kepada segala tuntutan‑Nya. Inilah perbaktian yang benar. Itulah hasil kerja Roh Suci. Oleh Roh setiap doa yang sungguh‑sungguh disusun, dan doa semacam itu berkenan kepada Allah. Di mana saja sesuatu jiwa mencari Allah. di sana nyatalah bekerjanya Roh itu, dan Allah akan menyatakan diri‑Nya kepada jiwa itu. Orang‑orang berbakti yang demikianlah dicahari Allah. Ia menanti hendak menerima mereka dan untuk menjadikan anak‑anak‑Nya.
Sementara berbicara dengan Yesus, wanita itu merasa terharu oleh perkataan‑Nya. Belum pernah ia mendengar perasaan serupa itu dari imam‑imam sebangsanya atau pun dari orang Yahudi. Setelah masa hidupnya yang lampau dipaparkan di hadapannya, ia sangat merasakan keperluannya yang besar. Ia sadar akan kehausan jiwanya, yang tidak dapat dipuaskan oleh air sumur di Sikhar itu. Tiada suatu apa pun yang berhubungan dengan dia hingga kini yang begitu mempekakan dia kepada sesuatu kebutuhan yang lebih tinggi. Yesus telah meyakinkan dia bahwa la dapat membaca segala rahasia hidupnya; namun ia merasa bahwa Ialah sahabatnya, yang berbelas kasihan serta mengasihi dia. Meski pun kesucian hadirat‑Nya mencela dosanya, namun Ia tidak mengeluarkan ucapan tuduhan, melainkan telah memberitahukan kepadanya tentang rahmat‑Nya, yang dapat membaharui jiwa. Mulailah ia mendapat sesuatu keyakinan tentang tabiat‑Nya. Timbullah pertanyaan dalam pikirannya, "Mungkinkah inilah Mesias yang telah lama dinantikan itu?" Katanya kepada Yesus, "Sahaya tahu Mesias akan datang kelak, yaitu yang bergelar Kristus, maka apabila datang, Ia juga akan memberi tahu kepada kami segala perkara itu." Yesus menyahut, "Akulah Dia, yang berkata‑kata dengan dikau."
Ketika wanita itu mendengar ucapan ini, timbullah kepercayaan dalam hatinya. Diterimanya pengumuman yang ajaib itu dari bibir Guru Ilahi itu.
Wanita itu berada dalam keadaan pikiran yang mau menghargai. Ia bersedia menerima pernyataan yang paling mulia; sebab ia menaruh perhatian pada Alkitab, dan Roh Suci telah menyediakan pikirannya untuk menerima lebih banyak terang. Ia telah mempelajari janji Wasiat Lama, "Seorang Nabi dari tengah-tengahmu, dari antara saudara-saudaramu, sama seperti aku, akan dibangkitkan bagimu oleh Tuhan, Allahmu; dialah yang harus kamu dengarkan." Ulangan 18:15. Ia rindu hendak mengerti akan nubuatan ini. Terang telah memancar ke dalam pikirannya. Air hidup, yakni kehidupan rohani yang dikaruniakan Kristus kepada tiap‑tiap jiwa yang haus telah mulai memancar dalam hatinya. Roh Tuhan sudah bekerja dalam dirinya.
Ucapan tegas yang diberikan oleh Kristus kepada wanita ini tidak akan dapat diucapkan kepada orang Yahudi yang membenarkan diri sendiri. Kristus lebih menahan diri apabila Ia berbicara kepada mereka itu. Apa yang tidak diberikan kepada orang Yahudi, dan yang kemudian hari dianjurkan supaya dirahasiakan oleh murid‑murid, dinyatakan kepada wanita itu. Yesus melihat bahwa ia akan menggunakan pengetahuannya itu untuk membawa orang lain pula guna mengambil bagian dari rahmat‑Nya.
Ketika murid‑murid kembali, mereka terkejut melihat Guru mereka berbicara dengan wanita itu. Ia belum meminum air menyegarkan yang diingini‑Nya itu, dan Ia tidak berhenti untuk memakan makanan yang telah dibawa oleh murid‑murid‑Nya itu. Setelah wanita itu pergi, murid‑murid‑Nya membujuk Dia supaya makan. Mereka lihat Dia diam, asyik berpikir, seperti dalam renungan yang tekun. Wajahnya berseri‑seri dengan cahaya, dan mereka takut mengganggu hubungan‑Nya dengan surga itu. Tetapi mereka tahu bahwa Ia lemas sekali dan penat, dan mereka merasa wajib mengingatkan Dia akan kebutuhan badani‑Nya. Yesus tahu akan perhatian mereka yang didorong oleh kasih, lalu Ia berkata, "Pada‑Ku adalah makanan, akan dimakan, yang tidak kamu ketahui."
Murid‑murid itu heran siapa gerangan telah membawakan Dia makanan; tetapi dijelaskan‑Nya, "Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya." Yohanes 4:34. Ketika perkataan‑Nya kepada wanita itu telah membangkitkan kesadaran hatinya, Yesus bersukaria. Ia melihat dia meminum air hidup, lalu perasaan lapar dan haus‑Nya sendiri pun dipuaskan. Terwujudnya tugas yang untuk dilaksanakannya Ia telah meninggalkan surga, menguatkan Juruselamat untuk pekerjaan‑Nya, serta mengangkat Dia melebihi segala kebutuhan kemanusiaan. Melayani seseorang yang sedang lapar dan haus akan kebenaran lebih menyenangkan bagi‑Nya daripada makan atau minum. Itulah suatu penghiburan, suatu penyegaran bagi‑Nya. Kebajikan adalah nyawa jiwa‑Nya.
Penebus kita haus akan pengenalan. Ia lapar akan simpati dan kasih orang‑orang yang telah dibeli‑Nya dengan darah‑Nya sendiri. Ia rindu dengan keinginan yang tak terperikan supaya kiranya mereka datang kepada‑Nya lalu mendapat kehidupan. Sebagaimana ibu menantikan senyum pengenalan dari anaknya yang masih kecil, yang menandakan mulainya kecerdasan, demikian juga Kristus menantikan pernyataan kasih yang penuh syukur yang menunjukkan bahwa hidup kerohanian sudah mulai di dalam jiwa.
Wanita itu telah dipenuhi dengan sukacita sementara ia mendengarkan perkataan Kristus. Pernyataan yang ajaib itu hampir menaklukkan. Dengan meninggalkan kendinya, pulanglah ia ke kota, untuk menyampaikan kabar itu kepada orang‑orang lain. Yesus tahu mengapa ia pergi meninggalkan kendinya sudah tentu menunjukkan pengaruh perkataan‑Nya. Adalah kerinduan jiwanya yang sungguh‑sungguh hendak memperoleh air hidup itu, maka lupalah ia akan tugasnya ke sumur itu, serta akan dahaga Juruselamat yang tadinya hendak dipuaskannya. Dengan hati yang meluap‑luap dengan    
kegirangan pergilah ia dengan tergesa‑gesa, hendak memberitahukan kepada orang‑orang lain terang yang indah yang telah diterimanya itu.
"Marilah lihat ada seorang, yang mengatakan kepadaku segala perkara yang kubuat," katanya. "Bukankah Ia ini Kristus?" Ucapannya itu menjawab hati mereka. Ada sesuatu pernyataan yang baru di wajahnya, suatu perubahan di dalam seluruh pembawaannya. Mereka itu ingin hendak melihat Yesus. "Maka keluarlah mereka itu dari dalam negeri pergi mendapatkan Yesus."
Selagi Yesus duduk di pinggir sumur itu, Ia memandang ke ladang gandum yang terhampar di hadapan‑Nya. daunnya yang hijau dan lembut disinari cahaya matahari keemasan. Dengan mengalihkan perhatian murid‑murid‑Nya kepada pemandangan itu, la menggunakannya sehagai suatu ibarat: "Bukankah katamu, empat bulan lagi baru datang musim penyabit? Bahwa sesungguhnya Aku herkata kepadamu. Angkatlah matamu; lihatlah akan segala bendang, karena sampai putihnya, dapat disabit." Maka sedang Ia berbicara itu, dilihat‑Nya rombongan yang sedang datang ke sumur itu. Empat bulan lagi baru tiba musim menuai gandum, tetapi di sini sudah ada suatu panen yang sudah sedia akan dituai.
"Orang yang menyabit itu," kata‑Nya, "mendapat upah dan mengumpulkan buah‑buah bagi hidup yang kekal, supaya bersuka citalah bersama‑sama, baik orang yang menabur, baik orang yang menyabit itu: Maka dalam inilah perbahasaan itu benar, bahwa seorang menabur, seorang lain menyabit." Di sini Kristus menunjukkan tugas suci yang harus ditunaikan bagi Allah oleh orang‑orang yang menerima Injil itu. Mereka harus menjadi alat‑alat‑Nya yang hidup. Ia meminta pelayanan mereka masing‑masing. Baik menabur mau pun menuai, kita bekerja bagi Allah. Seorang menaburkan bibit; yang lain mengumpulkan pada musim menuai; dan baik penabur mau pun penuai itu mendapat upah. Mereka bersuka bersama‑sama dalam pahala pekerjaan mereka.
Yesus berkata kepada murid‑murid‑Nya itu, "Kamu Kusuruhkan menyabit barang yang tidak kamu usahakan. Orang lain telah mengusahakan dia, maka kamu masuk ke dalam pekerjaannya." Juruselamat di sini sedang memandang ke muka kepada pengumpulan besar pada hari Pentakosta. Murid‑murid itu tidak boleh memandang hal ini sebagai hasil usaha mereka sendiri. Mereka sedang memasuki pekerjaan orang‑orang lain. Semenjak kejatuhan Adam, Kristus telah selamanya mempercayakan benih sabda‑Nya itu kepada hamba‑hamba pilihan‑Nya, untuk ditaburkan di dalam hati manusia. Dan suatu alat yang tidak kelihatan, yaitu suatu kuasa yang maha besar, telah bekerja diam‑diam tetapi sangat berhasil untuk menghasilkan panen. Embun dan hujan dan sinar matahari rahmat Allah telah diberikan, untuk menyegarkan serta menghidupkan benih kebenaran itu. Kristus sudah hampir menyirami benih itu dengan darah‑Nya sendiri. Murid‑murid‑Nya diberi kesempatan yang mulia untuk bekerja sama dengan Allah. Mereka adalah teman sekerja dengan Kristus dan dengan orang‑orang saleh pada zaman purba. Dengan dicurahkan‑Nya Roh Suci pada hari Pentakosta, beribu‑ribu orang akan ditobatkan dalam sehari. Ini adalah hasil penaburan Kristus, panen pekerjaan‑Nya.
Dalam perkataan yang diucapkan kepada wanita di pinggir sumur itu, bibit baik telah ditaburkan, dan betapa lekas panennya diperoleh. Orang‑orang Samaria itu datang dan mendengarkan Yesus serta percaya pada‑Nya. Dengan mengerumuni Dia di sumur itu, mereka menghadapkan pertanyaan‑pertanyaan kepada‑Nya, dan dengan hasrat yang besar menerima segala keterangan‑Nya tentang banyak perkara yang selama itu tidak jelas bagi mereka. Sementara mereka mendengar, kebingungan mereka pun lenyaplah. Mereka bagaikan suatu umat yang berada dalam kegelapan besar yang melihat cahaya yang memancar dengan tiba‑tiba hingga mereka mendapat siang hari. Akan tetapi mereka belum merasa puas dengan pertemuan yang singkat ini. Mereka masih ingin hendak mendengar lebih jauh, dan supaya sahabat‑sahabat mereka juga mendengarkan guru ajaib itu. Mereka mengundang Dia ke kota mereka serta memohon kepada‑Nya supaya tinggal dengan mereka. Dua hari lamanya Ia tinggal di Samaria, dan banyak lagi yang percaya pada‑Nya.
Orang Parisi memandang hina kesederhanaan Yesus. Mereka mengabaikan segala mukjizat‑Nya, dan meminta suatu tanda bahwa Ia adalah Anak Allah. Tetapi orang Samaria itu tidak meminta sesuatu tanda apa pun, dan Yesus tidak mengadakan mukjizat di antara mereka, kecuali dalam menyatakan rahasia hidupnya kepada wanita di sumur itu. Namun banyak orang yang menerima Dia. Dalam kegembiraan mereka yang baru itu berkatalah mereka kepada wanita itu, "Sekarang kami percaya, bukan sebab katamu, karena telah kami sendiri mendengar perkataan‑Nya dan ketahuilah kami bahwa sesungguhnya inilah Kristus, yaitu Juruselamat orang isi dunia."
Orang Samaria percaya bahwa Mesias akan datang sebagai Penebus, bukan hanya bagi bangsa Yahudi, tetapi juga bagi dunia. Roh Suci dengan perantaraan Musa telah menubuatkan Dia sebagai seorang nabi yang datang dari Allah. Dengan perantaraan Yakub telah dikatakan bahwa kepada‑Nya segala bangsa akan menurut; dan dengan perantaraan Ibrahim, bahwa dalam Dialah segala bangsa di dunia ini akan diberkati. Di atas ucapan Alkitab inilah bangsa Samaria itu mengalaskan iman mereka pada Mesias. Bangsa Yahudi telah salah mentafsirkan nabi‑nabi yang belakangan, dengan menganggap bahwa kemuliaan kedatangan Kristus yang kedua kalinya akan dialami pada kedatangan‑Nya yang pertama kalinya. Itulah sebabnya orang Samaria mengabaikan semua tulisan suci kecuali yang diberikan dengan perantaraan Musa. Tetapi ketika Juruselamat menyapu bersih semua tafsiran yang salah ini, banyaklah yang menerima nubuatan‑nubuatan itu kemudian serta perkataan Kristus Sendiri mengenai kerajaan Allah.
Yesus sudah mulai merubuhkan tembok pemisah antara orang Yahudi dan orang kapir, dan memasyhurkan kabar keselamatan kepada dunia. Walau pun Ia seorang Yahudi, Ia bergaul bebas dengan orang Samaria, meniadakan adat istiadat ke Parisian bangsa‑Nya. Di tengah prasangka mereka Ia menerima sikap ramah‑tamah dari bangsa yang dibenci itu. Ia tidur di rumah mereka, makan sehidangan dengan mereka, ikut menikmati makanan yang disediakan dan dihidangkan oleh tangan mereka, mengajar di jalan raya mereka, serta memperlakukan mereka dengan sangat murah hati dan sopan santun.
Dalam kaabah di Yerusalem sebuah tembok yang rendah memisahkan halaman sebelah luar dari segala bagian lain dari bangunan yang suci itu. Pada tembok ini ada tulisan dalam bermacam‑macam bahasa, yang mengatakan bahwa tidak seorang pun kecuali orang Yahudi diizinkan melalui batas ini. Sekiranya seorang kapir dengan tekeburnya berani masuk ke dalam ruangan sebelah dalam itu, ia sudah menajiskan kaabah itu, dan sudah tentu ia akan membayar hukuman dengan nyawanya sendiri. Tetapi Yesus pencipta kaabah dan segala upacaranya itu, menarik orang kapir itu kepada‑Nya dengan ikatan simpati manusia, sementara rahmat Ilahi‑Nya membawakan kepada mereka keselamatan yang ditolak oleh orang Yahudi.
Yesus tinggal di Samaria dengan maksud untuk mendatangkan berkat kepada murid‑murid‑Nya, yang masih di bawah pengaruh kefanatikan Yahudi. Mereka merasa bahwa kesetiaan kepada bangsa mereka sendiri meminta supaya mereka memelihara permusuhan terhadap orang Samaria. Mereka heran melihat kelakuan Yesus itu. Mereka itu tidak dapat menolak untuk mengikuti teladan yang diberikan‑Nya itu, dan selama dua hari di Samaria, kesetiaan kepada‑Nya menguasai segenap prasangka mereka; namun dalam hati mereka tidak merasa senang. Sangat lambat bagi mereka untuk memahami bahwa penghinaan dan kebencian mereka harus memberi tempat bagi belas kasihan dan simpati. Tetapi setelah Tuhan naik ke surga, pelajaran‑pelajaran yang diberikan‑Nya itu datang kembali kepada mereka dengan suatu arti yang baru. Setelah kecurahan Roh Suci, mereka pun terkenanglah akan pandangan Juruselamat, perkataan‑Nya, penghormatan dan kelembutan pembawaan‑Nya terhadap orang‑orang asing yang terhina itu. Waktu Petms pergi memasyhurkan Injil di Samaria, ia membawa roh seperti itu dalam pekerjaannya sendiri. Ketika Yohanes dipanggil ke Efesus dan Smyrna, terkenanglah ia akan pengalaman di Sikhem itu, lalu ia dipenuhi dengan perasaan syukur kepada Guru Ilahi, yang oleh melihat lebih dahulu segala kesukaran yang harus mereka hadapi, telah memberikan kepada mereka pertolongan dalam teladan‑Nya sendiri.
Juruselamat masih menjalankan pekerjaan yang sama seperti ketika Ia menawarkan air hidup kepada wanita Samaria itu. Orang‑orang yang menyebut dirinya pengikut‑pengikut‑Nya, boleh jadi menghinakan serta menghindarkan orang‑orang terbuang itu; tetapi tiada keadaan kelahiran atau kebangsaan, tiada keadaan hidup, yang dapat menjauhkan kasih‑Nya dari anak‑anak manusia. Kepada setiap jiwa, meski pun berdosa, Yesus berkata, Kalau engkau sudah meminta kepadaku, maka sudahlah Aku memberikan air hidup kepadamu.
Undangan Injil itu tidak boleh dipersempit, dan disampaikan hanya kepada beberapa orang pilihan saja, yang menurut dugaan kita akan menghormati kita jika mereka menerimanya. Pekabaran itu wajib disampaikan kepada semua orang. Di mana saja hati terbuka untuk menerima kebenaran, Kristus bersedia untuk mengajar mereka. Ia menyatakan kepada mereka Bapa serta perbaktian yang berkenan kepada‑Nya yang membaca hati. Untuk orang‑orang yang demikian Ia tidak menggunakan perumpamaan. Kepada mereka, seperti kepada wanita yang di sumur itu, Ia berkata, "Akulah Dia, yang berkata‑kata dengan dikau."
Ketika Yesus duduk beristirahat di sumur Yakub itu, Ia telah datang dari Yudea, di mana pekerjaan‑Nya sangat sedikit hasilnya. Ia telah ditolak oleh imam‑imam dan rabbi‑rabbi, malahan orang‑orang yang mengaku sebagai murid‑murid‑Nya pun tidak melihat tabiat Ilahi‑Nya. Ia sudah lemas dan penat namun Ia tidak melalaikan kesempatan untuk berbicara kepada seorang wanita, meski pun ia seorang dagang, yang berbeda dengan orang Israel, dan hidup di dalam dosa yang nyata.
Juruselamat tidak menunggu himpunan banyak orang berkumpul. Acapkali Ia memulai pengajaran‑Nya dengan hanya beberapa orang berkumpul di sekeliling‑Nya, tetapi seorang demi seorang mereka yang lalu di tempat itu berhenti untuk mendengar, hingga suatu kumpulan besar mendengarkan Sabda Allah yang diucapkan oleh guru yang diutus dari surga itu dengan perasaan heran dan kagum. Pengerja Kristus sekali‑kali jangan merasa bahwa ia tidak dapat berbicara dengan kesungguhan seperti itu kepada hanya sedikit pendengar seperti kepada kumpulan yang lebih besar. Mungkin hanya seorang yang mendengar pekabaran itu; tetapi siapakah yang dapat mengatakan berapa luasnya kelak pengaruhnya? Perihal Juruselamat menggunakan waktu‑Nya bagi seorang wanita Samaria tampaknya seolah‑olah suatu perkara yang kecil saja, bahkan bagi murid‑murid‑Nya sekali pun. Tetapi Ia berbicara dengan lebih sungguh‑sungguh dan lebih fasih lagi dengan dia daripada dengan raja‑raja, anggota‑anggota majelis, atau imam‑imam besar. Pelajaran yang diberikan‑Nya kepada wanita itu telah diulang‑ulangi hingga ke ujung bumi yang terjauh sekali pun.
Segera sesudah ia mendapat Juruselamat, wanita Samaria itu membawa orang‑orang lain pula kepada‑Nya. Ia membuktikan dirinya seorang pengabar Injil yang lebih cakap daripada murid‑murid Tuhan sendiri. Murid‑murid itu tidak melihat suatu apa pun di Samaria yang menandakan bahwa tempat itu adalah ladang yang mengandung harapan. Pikiran mereka ditujukan kepada suatu pekerjaan besar yang akan dilaksanakan di kemudian hari. Mereka tidak melihat bahwa justru di sekeliling mereka ada sebuah panen yang harus dikumpulkan. Akan tetapi dengan perantaraan wanita Samaria yang mereka benci itu seluruh penduduk kota dibawa untuk mendengarkan Juruselamat. Ia membawa terang itu dengan segera kepada orang senegerinya.
Wanita itu menggambarkan bekerjanya iman yang praktis kepada Kristus. Tiap murid yang sejati dilahirkan ke dalam kerajaan Allah sebagai seorang pengabar Injil. Orang yang minum air hidup itu menjadi mata air hidup pula. Penerima itu menjadi pemberi. Rahmat Kristus dalam jiwa adalah bagaikan mata air di padang belantara yang berbual‑bual untuk menyegarkan semua orang, serta menjadikan mereka yang sudah hampir binasa ingin minum air hidup itu.


No comments:

Post a Comment