Ads Google

Tuesday, April 3, 2018

Agama Suku Minahasa



Agama Suku Minahasa dalam kacamata Para Penginjil dan Peneliti-Peneliti lainnya

                Wileken, Graaflan, Riedel sependapat bahwa orang Alifuru Minahasa percaya banyak dewa dan kemudian percaya pada satu dewa yang terpinjam dari monotheisme Kristen.  Atau dari penyembahan kepada roh-roh (animism) dan kemudian pada abad ke -10 mulai Nampak kecendrungan monotheisme.

                M.W.M  Hekker (sejarawan dan antropolog Belanda dan Manoppo-Watupongoh juga melanjutkan dan berdiri pada pendapat di atas.  Bahkan dari antara para penginjil, seperti v. Capellen dan Bodde menyimpulkan bahwa agama suku Minahasa sebagai agama yang penuh dengan kebohongan dan kepalsuan –jiwa kekanak-kanakan – bahkan Cappelen menegaskan para walian (imam-imam)-nya sebenarnya berbicara dengan iblis-iblis.  Menurut Josef Manuel Saruan, peneliti dan dosen di UKIT dalam  dalam studinya yang berjudul Opo dan Allah Bapa memberikan pendapat bahwa ada kekeliruan dari para penginjil di Minahasa.  Alasannya, pertama, kebiasaan “menyebut” nama para leluhur disamakan dengan “berhubungan/berbicara” dengan leluhur.  Kedua, leluhur/nenek moyang orang Minahasa dipandang sebagai kekafiran belaka.

                Neurdenburg merupakan antara lain orang Barat yang mempunyai pendapat yang berbeda dengan mereka yang disebut di atas.  Baginya para penginjil harus mendapat gambaran yang jelas tentang  “agama-agama”, termasuk di Minahasa – harus menyelami kebenaran apa yang terkandung dalam agama tua/suku itu dan meyaring hal-hal yang menyimpang dari norma-norma kesusilaan serta harus menemukan kebenaran yang dapat dijadikan pedoman.”  Dan pada akhirnya Graaflan sendiri rupanya mengalami perubahan terhadap penilaiannya akan agama suku Minahasa.   Baginya, menyelidiki kejiwaan orang-orang kafir seperti menyelam untuk mencari mutiara – agama orang-orang Kafir Minahasa tidak boleh digolongkan sebagai hasil kejiwaan manusia yang paling rendah.  Karena itu, katanya kita harus mengambil patokan dari apa yang kita namakan hasil kejiwaan yang ada pada mereka.   Juga ia memandang baik terhadap bagaimana  orang Alifuru Minahasa berhubungan dengan opo-opo melalui doa-doa:  makan, minum, berpergian, saat-saat mengadakan persembahan korban (terutama doa sang bapak) dan nyanyian-nyanyian pada pesta-pesta seusai menuai padi.

Simbol-simbol takhyul.
a.        Tersedak (tatigo, bah. Popular orang Minhasa  - pen.)
Jika seseorang sedang makan di rumah orang lain, lalu tersedak, hal ini melambangkan bahwa orang itu mempunyai niat jahat.  Sehingga terdapat doa berbunyi:
“Semoga orang-orang yang tak berguna tersedak, dan semoga orang yang berbuat jahat kepada kami, semua niat jahat mereka berbali kepada mereka dan tersedak.”
b.  
     Bersin
Di Minahasa juga bersin sebagai salah satu tanda bahwa jiwa/roh yang mheninggalkan tubuh seseorang kembali lagi.  Seseorang yang sakit lalu bersin, maka ia dianggap akan sembuh, sebab jiwanya kembali lagi.  Atau jika seorang anak tib-tiba bersin, maka orang tuanya segera menyambut dengan:  “umur panjang/selamat”.  Bersin juga dapat dianggap sial.

c.        Loteng rumah.
Jika ada sesuatu jatuh di atas, maka orang Kafir berkata:  “Dewa-dewa yang di atas, ampunilah”.  Karena loteng merupakan tempat simpan benda-benda yang dianggap berkhasiat, juga tempat dimana si Walian mengkhususkan diri sesaat jika melakukan poso keluarga.
d.       Kehadiran Kucing, Ular.
Jika seseorang dan atau beberapa orang sedang mengadakan perjalanan, lalu tiba-tiba melihat kehadiran hewan ini, maka mereka berhenti/beristerahat.  Di zaman lampau orang bias beristeraha 1, 2 atau 3 hari, tetapi sekarang hanya beberapa menit dan harus mengucapkan penangkal, seperti: “bangunlah, hari sudah lain”.  Menurut  Bodde, hewan kucing, tikus, ular dipandang dapat didiami roh-roh jahat oleh kepercyaan tahyul pribumi.
e. 
      Burung  Manguni.
Wilken mengatakan bahwa mendengar bunyi burung merupakan kebiasaan orang Minahasa.  Bahkan ada orang yang dipandang mahir untuk itu, yang disebut Mananalinga (pendengar dan penafsir bunyi burung).  Kegiatan membangun rumah, mentahbiskan rumah, menghadapi peperangan, membuka ladang, mengadakan persembahan – memerlukan bantuan burung – tumalinga sikoko” (mendengar burung), atau mendengar burung mangengeke.

Watu Pinawetengan (watu =batu,  penawetengan = di mana terjadi pembagian)
a)      Lahirnya amanat untuk mengelolah tanah Minahasa dan menyebar, dan sekalipun amanat itu dari tonaas wangko, tetapi dianggap datangnya dari Opo-Opo/leluhur sebagai perantara manusia dengan Opo Wailan Wangko.
b)      Tempat ini telah dianggap keramat dan symbol kehadiran para leluhur, dan apa yang diamanatkan di situ dipandang sebagai “firman” yang datang dari  Opo Wailan Wangko, dan karena itu mempunyai kewibawaan yang tinggi.