Agama Suku Minahasa dalam kacamata Para Penginjil dan
Peneliti-Peneliti lainnya
Wileken,
Graaflan, Riedel sependapat bahwa orang Alifuru Minahasa percaya banyak dewa
dan kemudian percaya pada satu dewa yang terpinjam dari monotheisme
Kristen. Atau dari penyembahan kepada
roh-roh (animism) dan kemudian pada abad ke -10 mulai Nampak kecendrungan
monotheisme.
M.W.M Hekker (sejarawan dan antropolog Belanda dan
Manoppo-Watupongoh juga melanjutkan dan berdiri pada pendapat di atas. Bahkan dari antara para penginjil, seperti v.
Capellen dan Bodde menyimpulkan bahwa agama suku Minahasa sebagai agama yang
penuh dengan kebohongan dan kepalsuan –jiwa kekanak-kanakan – bahkan Cappelen
menegaskan para walian (imam-imam)-nya sebenarnya berbicara dengan iblis-iblis.
Menurut Josef Manuel Saruan, peneliti
dan dosen di UKIT dalam dalam studinya
yang berjudul Opo dan Allah Bapa memberikan pendapat bahwa ada kekeliruan dari
para penginjil di Minahasa. Alasannya,
pertama, kebiasaan “menyebut” nama para leluhur disamakan dengan
“berhubungan/berbicara” dengan leluhur.
Kedua, leluhur/nenek moyang orang Minahasa dipandang sebagai kekafiran
belaka.
Neurdenburg
merupakan antara lain orang Barat yang mempunyai pendapat yang berbeda dengan
mereka yang disebut di atas. Baginya para
penginjil harus mendapat gambaran yang jelas tentang “agama-agama”, termasuk di Minahasa – harus
menyelami kebenaran apa yang terkandung dalam agama tua/suku itu dan meyaring
hal-hal yang menyimpang dari norma-norma kesusilaan serta harus menemukan kebenaran
yang dapat dijadikan pedoman.” Dan pada
akhirnya Graaflan sendiri rupanya mengalami perubahan terhadap penilaiannya
akan agama suku Minahasa. Baginya,
menyelidiki kejiwaan orang-orang kafir seperti menyelam untuk mencari mutiara –
agama orang-orang Kafir Minahasa tidak boleh digolongkan sebagai hasil kejiwaan
manusia yang paling rendah. Karena itu,
katanya kita harus mengambil patokan dari apa yang kita namakan hasil kejiwaan
yang ada pada mereka. Juga ia memandang
baik terhadap bagaimana orang Alifuru
Minahasa berhubungan dengan opo-opo melalui doa-doa: makan, minum, berpergian, saat-saat
mengadakan persembahan korban (terutama doa sang bapak) dan nyanyian-nyanyian
pada pesta-pesta seusai menuai padi.
Simbol-simbol takhyul.
a.
Tersedak
(tatigo, bah. Popular orang Minhasa -
pen.)
Jika seseorang sedang makan di rumah orang
lain, lalu tersedak, hal ini melambangkan bahwa orang itu mempunyai niat
jahat. Sehingga terdapat doa berbunyi:
“Semoga orang-orang yang tak berguna
tersedak, dan semoga orang yang berbuat jahat kepada kami, semua niat jahat
mereka berbali kepada mereka dan tersedak.”
b.
Bersin
Di Minahasa juga bersin sebagai salah satu
tanda bahwa jiwa/roh yang mheninggalkan tubuh seseorang kembali lagi. Seseorang yang sakit lalu bersin, maka ia
dianggap akan sembuh, sebab jiwanya kembali lagi. Atau jika seorang anak tib-tiba bersin, maka
orang tuanya segera menyambut dengan:
“umur panjang/selamat”. Bersin
juga dapat dianggap sial.
c.
Loteng
rumah.
Jika ada sesuatu jatuh di atas, maka orang
Kafir berkata: “Dewa-dewa yang di atas,
ampunilah”. Karena loteng merupakan
tempat simpan benda-benda yang dianggap berkhasiat, juga tempat dimana si
Walian mengkhususkan diri sesaat jika melakukan poso keluarga.
d.
Kehadiran
Kucing, Ular.
Jika seseorang dan atau beberapa orang
sedang mengadakan perjalanan, lalu tiba-tiba melihat kehadiran hewan ini, maka
mereka berhenti/beristerahat. Di zaman
lampau orang bias beristeraha 1, 2 atau 3 hari, tetapi sekarang hanya beberapa
menit dan harus mengucapkan penangkal, seperti: “bangunlah, hari sudah
lain”. Menurut Bodde, hewan kucing, tikus, ular dipandang
dapat didiami roh-roh jahat oleh kepercyaan tahyul pribumi.
e.
Burung
Manguni.
Wilken mengatakan bahwa mendengar bunyi
burung merupakan kebiasaan orang Minahasa.
Bahkan ada orang yang dipandang mahir untuk itu, yang disebut
Mananalinga (pendengar dan penafsir bunyi burung). Kegiatan membangun rumah, mentahbiskan rumah,
menghadapi peperangan, membuka ladang, mengadakan persembahan – memerlukan
bantuan burung – tumalinga sikoko” (mendengar burung), atau mendengar burung
mangengeke.
Watu Pinawetengan (watu =batu, penawetengan = di mana terjadi pembagian)
a)
Lahirnya amanat untuk mengelolah tanah Minahasa
dan menyebar, dan sekalipun amanat itu dari tonaas wangko, tetapi dianggap
datangnya dari Opo-Opo/leluhur sebagai perantara manusia dengan Opo Wailan
Wangko.
b)
Tempat ini telah dianggap keramat dan symbol
kehadiran para leluhur, dan apa yang diamanatkan di situ dipandang sebagai
“firman” yang datang dari Opo Wailan Wangko,
dan karena itu mempunyai kewibawaan yang tinggi.