Ads Google

Tuesday, April 3, 2018

Agama (Aliran) Mennonit di Indonesia



            Aliran Mennonit merupakan bagian dari gerakan Anabaptis yang muncul di daratan Eropa tak lama sesudah Martin Luther mencanagkan Reformasi.  Aliran ini kini terjelma dalam puluhan organisasi gereja yang tersebar di lima benua, kendati jumlah warganya tidak besar disbanding beberapa rumpun gereja Protestan lainnya yang dibicarakan pada pasal-pasal terdahulu maupun kemudian (menurut Mennonite Yearbook 1990-1991, hal.221, pada tahun 1988 berjumlah 802.900 jiwa).
            Aliran Mennonit termasuk salah satu aliran yang sudah lama hadir di Indonesia.  Sekarang ia hadir terutama lewat dua organisasi gereja, yakni GITJ yang berpusat di Pati dan PGKMI yang berpusat di Semarang, kendati dalam bentuk dan isi yang di sana sini sudah ‘dimodifikasi’.  Kedua gereja ini sudah sejak lama menjadi anggota DGI/PGI (GITJ sudah sejak DGI berdiri pada tahun 1950, dan [P]GKMI sejak 1960).  Catatan ini penting, karena di AS, tempat paling banyak penganut aliran Mennonit sedunia, gereja-gereja Mennonit tidak menjadi anggota dewan gereja setempat.  Nanti kita akan membicarakan ‘gereja-gereja Mennonit’ di Indonesia ini secara tersendiri.
Namun Mennonit berasal dari nama Menno Simons, tokoh gerakan Anabaptis di Belanda, yang menganut garis moderat dan anti-kekerasan.  Seperti akan kita lihat pada pasal 6, para perintis Gereja Baptis di Inggris semula juga mempunyai kontak dengan jemaat-jemaat pengikut Menno Simons ini, ketika mereka mengungsi ke Belanda pada awal abad ke-17.  Tetapi kemudian banyak tokoh dan sejarawan Gereja-gereja Baptis yang kurang suka mengakui hubungan langsung di antara kedua aliran ini, karena ada beberapa pokok ajaran kaum Anabaptis dan Mennonit yang tidak dianutnya, bahkan dianggap bertentangan dengan ajaran Baptis.
            Sebenarnya aliran Mennonit sendiri pun tak bisa sepenuhnya diidentikkan dengan kaum Anabaptis, karena – seperti akan kita lihat di bawah – di kalangan Anabaptis ada beberapa garis atau aliran.  Tetapi – seperti terungkap pada mukadimah pengakuan iman mereka yang dikutip di atas – mereka mengakui adanya garis hubungan langsung, paling tidak dengan kaum Anabaptis yang di Swiss.  Karena itu, dalam rangka menelusuri sejarah aliran ini, kita harus memulainya dengan mencatat timbulnya kaum Anabaptis di Swiss dan Jerman.

LATAR BELAKANG DAN SEJARAH KEMUNCULANNYA

          Pada mukadimah Pengakuan iman Mennonit yang di kutip di atas di katakana bahwa Gereja Mennonit di mulai di Swiss tahun 1525.  Tetepi untuk memahami kemunculannya, dengan terutama mengandalkan tulisan J.C Wenger (1966), C.J. Dyck (1967) dan Lane (1990:43-144), kita perlu mundur beberapa tahun melihat serangkaian peristiwa yang menandai mulainya Reformasi di Swiss.
            Di Swiss dapat dikatakan bahwa reformasi dicanangkan oleh Ulrich Swingli (1484-1531) dan kawan-kawan.  Sebelum menjadi reformator, sama seperti Luther, Zwingli adalah seorang imam GKR.  Tetapi berbeda dari Luther, Zwingli dangat di pengaruhi oleh Humanisme dari Erasmus dan karena itu memberi tempat yang penting bagi akal budi dalam rangka memahami ajaran gereja.  Hal ini kelak ikut menentukan perbedaan pandangan diantara keduanya, antara lain mengenai kehadiran Kristus di dalam perjamuan Kudus.
            Sejak 1516 Zwingli sudah milai berpikir untuk mengupayakan reformasi gereja, dan itu dilakukannya berlandaskan keyakinan bahwa Allkiatb merupakan otoritas tertingi dan terakhir di dalam gereja dan masyarakat.  Sejak 1518 ia sudah mulai menyajikan khotbahnya berupa uraian isi Alkitab secara sistimatis.  Penyampaian khotbah yang langsung bersumber dari Alkitab dan berisi imbauan reformasi ini semakin diintensifkannya ketika ia di tempatkan di Zurich dejak tahun 1520.  hal ini mengagetkan jemaat di kota itu, karma isinya sama sekali berbeda dari yang lazim diperdengarkan imam-imam GKR padahal pada wakatu itu gelombang reformassi Luther belum sampai ke sana.
            Pada tahun 1522 Zwingli dan sejumlah orang yang sepandangan dengannya mengeluarkan pandangan yang berisi tuntutan pembaharuan secara radikal dalam gereja.  Pemerintah kota Zurich segera mengangkatnya kembali ke posisi semula, tetapi tidak lagi di bawah wewenang hierarki GKR, melainkan langsung di bawah wewenang pemerintah.  Peristiwa ini menandai awal dari Reformasi di Swiss yang mengarah pada bentuk gereja-negara.  Pihak GKR berupaya memprotes tindakan pemerintah kota Zurich itu, tetapi tidak begitu berhasil.
            Dalam waktu singkat pemerintah kota itu melihat bahwa proses dan gerakan reformasi ini perlu dikendalikan, kara ada tuntutannya yang mengandung konsekuendi politis yang besar, sehingga sulit di terima pemerintah.  Misalnya, setelah memdengarkan khotbah-khotbah Zwingli yang di gali dari Kitab-Kitab Injil, para petani disekitar Zurich berkesimpulan bahwa mereka tidak prlu lagi membayar pajak dan perpuluhan.  Begitu juga dengan prnyataan Zwingli bahwa misa GKR yang merupakan tindakan mengorbnkan-ulang tubuh dan darah Kristus harus di ganti dengn pelayanan kominiyang bersifat injili yaitu sebagai pengenangan.  Bila benar-benar pernyataan itu di wujudkan, pemerintah kota itu kuatir bahwa hubungan kota itu dengan kota-kota lainnya di negeri itu akan rusak, baik di bidang gerejawi, maupun di bidang politik dan ekonomi.  Ketika Zwingli melaksanakan isi pernyataannya pada bulan Desember 1523, pemerintah kota menolak memberi dukungan.  Akibatnya pada bulan Januari 1524 Zwingli terpaksa menandatangani beberapa kesepakatan, antara lain:
  1. menunda pelaksanaan komuni (Perjamuan Kudus) yang bersifat reformatoris itu, jadi tetap melaksanakan model perjamuan Kudus dan wawasan misa GKR
  2. untuk selanjutnya segala sesuatu yang hendak diselenggarakan oleh jemaat dikota itu harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari pemerintah kota.  Dengan demikian kendali reformasi di zurich berada di tangan pemerintah, dan lajunya menjadi sangat terbatas.
            Kompromi Zwingli dengan pemerintah kota ini oleh sebagian jemaat pendukung gerakan reformasi di Zurich dianggap menggiring jemaat reformatoris kearah status gereja-negara, sehingga menimbulkan rasa tidak puas.  Dibawah pimpinan Conrad Grebel seorang warga jemaat turunan bangsawan kaya, mereka menggugat campur tangan dan kendali pemerintah atas kehidupan dalam urusan Perjamuan Kudus, karena menurut mereka hal itu bertentangan dengan Firman Allah.  Selanjutnya kelompok ini menganjurkan dua pokok pikiran:
1.                 membentuk partai reformasi sebagai partai politik baru di kota Zurich (dengan harapan akan menang dan menghasilkan dewan dan pemerintah kota yang sepenuhnya akan mendukung laju reformasi)
2.                 babtisan anak tidak sah, karena tidak memungkinkan calon babtisan untuk lebih dahulu menyatakan respons probadi atas pengampunan dosa yang ditawarkan Kristus maupun untuk menyatakan ketaatan serta pertobatan, sebagai mana diamanatkan dalam Alkitab.

            Ternyata gagasan ini tidak di setujui oleh Zwingli.  Khususnya tentang Babtisan anak, pada tahun 1525 Zwingli menulis buku, Baptisan ulang dan Baptisan Anak.  Di situ ia membela baptisan anak atas dasar bahwa itulah tanda perjanjian dan perjanjian itu meliputi seluruh keluarga, jadi bukan hanya si terbaptis.  Namun ia sekaligus menolak pandangan GRK bahwa baptisan itu memberi kelahiran baru dan pengampunan dosa.  Bagi Zwingli Baptisan terutama merupakan tanda lahiriah dari iman.
            Akibat sanggahan Zwingli terhadap penolakan baptisan anak itu, Grebel dan kawan-kawan menulis surat kepada yang juga mereka anggap sebagai tokoh-tokoh reformasi, yaitu Marthin Luther, Andreas Carlstadt dan Thomas Munzer, dengan keyakinan bahwa mereka akan memberikan dukungan.  Khusus kepada Munzer dan kawan-kawan, Grebel dan kawan-kawan menambahkan imbauan dan peringatan, agar reformasi tidak di jalankan dengan kekerasan dan kekuatan senjata, karena mendengar bahwa Munzer dan kawan-kawan mengarah de sana.  Dalam surat itu di tulis:  ”Injil dan para penganutnya tidak di lindungi oleh pedang, dan juga tak perlu melindungi diri sendiri.  Orang-orang kristen sejati adalah domba-domba di tengah serigala....,  mereka harus menanggung banyak siksaan, penghambatan, penderitaan dan maut.”  dari isi surat itu kita dapat mengetahui bahwa waktu itu sudah ada kalangan Anabaptis tertentu yang menggunakan atau menghalalkan kekerasan dalam mewujudkan gagasan dan ajaran mereka, dan itu tidak di dukung oleh kelompok Anabaptis di Swiss.
            Ternyata surat itu tidak berjawab, sehinggah Grebel dan kawan-kawan memutuskan untuk maju terus, kendati mereka mulai mengalami penghambatan dan penganiayaan karena dianggap menyesatkan.  Pada tanggal 21 Januari 1525 kelompok kecil ini yang di pimpin Grebel berkumpul mengadakan penelaahan Alkitab. Di tengah keasyikan itu, seorang pesertanya, Georg Cajacob (= George Blaurock), meminta supaya Grebel melayankan Baptisan yang benar atas dirinya, yaitu yang sesuai dengan amanat Alkitab, karena dalam perkumpulan itu tidak hadir seorang pejabat gereja yang ditahbiskan.  Grebel akhirnya memnuhi permintaan itu, dan juga melayankan baptisan atas orang-orang lain dalam kumpulan itu, yang juga memintanya.  Peristiwa ini oleh kalangan Mennonit dipahami sebagai hari lahirnya Anabaptisme, bahkan lahirnya reformasi sejati.  ”Di sinilah lahir gereja Protestan yang pertama.”  kata J.H. Yonder (Dyckn [ed] 1967:34).
            Peristiwa 21 Januari 1525 itu mengundang pemerintah dan gereja resmi di Zurich untuk semakin memperkeras penghambatan atas kelompok yang mereka juluki Anabaptis (pembaptis- ulang).  Kelompok ini sebenarnya lebih suka disebut Persaudaraan (Brethren).  Di tengah suasana penghambatan itu kedalam kelompok mereka bergabunglah seorang doktor teologi, Balthasar Hubmainer, yang kemudian banyak berperan sebagai perumus pandangan kaum Anabaptis.  Sebelumnya Hubmainer adalah kawan dekat Zwingli, tetapi mereka berbeda pandangan tentang baptisan.  Menurut Hubmainer, nama Anabaptis sebenarnya tidak cocok dikenakan kepada mereka, sebab mereka tidak pernah mengajarkan Baptisan ulan.  Yang mereka ajarkan adalah baptisan menurut Alkitab.  Kalaupun kemudian ada yang meminta untuk di baptis, itu bukanlah baptisan ulang, sebab baptisan anak yang mereka terima dari GKR bukanlah baptisan yang Alkitabiah, dan karena itu tidak sah.
            Apapun yang mereka katakan tentang paham baptisan yang mereka anut, yang pasti kalangan GKR dan gereja Reformasi yang ”magisterial” (yang mendukung pemerintah) tetap memandang mereka sebagai penyebar ajaran sesat, sehinggah patut dihambat.  Tidak sedikit dari mereka terutama para pemimpinnya  yang di penjarakan dan di bakar hidup-hidup.  Penghambatan ini nantinya menjadi salah satu penyebab meluasnya  kaum Anabaptis di benua Amerika.  Diantara mereka pun terdapat perbedaan pandangan dna gara mengungkapkan keyakinan.  Kelompok yang justru semakin bersemangat dan emosianal (menghalakan kekerasan) oleh penentang-penentang mereka di juluki Schwarmer (kaum fanatik).  Akibatnya kalangan kaum Anabaptis terjadi disintegrasi.
            Untuk mencegah desintegrasi yang semakin parah, pada bulan Februari 1527 mereka berkumpul di desa schleitheim, dekat kota Schaffhausen, Swiss.  Di mulai dengan perdebatan yang sengit, namun ternyata pertemuan itu dapat di akhiri dengan sejumlah kesepakatan, hal yang oleh mereka di pahami dan di alami sebagaipimpinan Roh Kudus.  Rumusan kesepakatan itu sering dikenal dengan nama pengakuan iman Schleitheim, rumusan pengakuan iman pertama di kalangan Anabaptis.  Sementara itu, mereka yang berkumpul dan merumuskannya lebih suka menyebutnya kesepakatan persaudaraan.
            Dokumen ini, setelah didahului pengantar yang cukup panjang, berisi tujuan pokok pernyataan iman.  Di samping memuat pokok-pokok pandangan dan ajaran kaum Anabaptis – sejauh yang berkumpul di sana pada waktu itu – dokumen ini pada pokoknya juga hendak menggungkapkan pemahaman kaup Anabaptis tentang kebebasan rohani, yang berbeda dari kaum fanatik maupun dari kaum konformis yang tetap berada di dalam gereja-negara. Ketujuh pokok itu adalah:  (1) Baptisan; (2) Pengucilan; (3) Perjamuan Kudus; (4) Pemusahan dari dunia kegelapan dan dari kekejian; (5) Kepemimpinan [pendeta] di dalam gereja (6)[Larangan] menggunakan ’pedang’ (senjata; kekerasan); dan (7) [Larangan ber]sumpah.
            Setelah pertemuan dan kesepakatan Schleitheim, penghambatan atas kaum Anabaptis semakin keras, sehingga gerakan dan aliran ini kian menyebar ke berbagai penjuru Jerman dan negeri-negeri sekitarnya.  Kita tidak dapat membicarakan semuanya.  Yang perlu secara khusus kita lihat, sehubungan dengan kehadiran mereka di Indonesia, adalah perkembangan Anabaptisme di Belanda, dengan tokoh utamanya Menno Simons.  Tetapi sebelum membicarakan tokoh ini, perlu kita terlebih dahulu melihat sejenak perkembangan Anabaptisme di Belanda sebelum tampilnya tokoh ini.

Anabaptisme di Belanda

Paham Anabaptis tiba di Belanda terutama berkat kiprah Melchior Hoffman (1493-1543), baik melalui kehadiran dan khotbahnya sendiri maupun melalui pengkhotbah-pengkhotbah Anabaptis yang ia utus.  Hoffman sendiri semula adalah seorang pengkhotbah dan penginjilan Lutheran yang bergiat di Swedia dan Jerman.  Kemudian ia beralih menjadi pengikut Zwingli, lalu sejak 1530 beralih menjadi Anabaptis, setelah berkenalan dengan paham ini di kota Strasburg.  Bahkan ia bernubuat bahwa Yerusalam Baru yang rohani tak lama lagi akan terwujud di Strasburg.  Hoffman sendiri kemudian masuk penjara atas tuduhan menyebar ajaran sesat, sementara nubuatnya tidak menjadi kenyataan.  Tetapi pengaruhnya atas pemimpin-pemimpin Anabaptis di Belanda tetap kuat.  Nubuatnya sempat menggerakkan sejumlah warga masyarakat, yang ketika itu menderita akibat penaklukan Spanyol yang menganut Katolik Roma maupun akibat kemerosotan mutu kerohanian GKR.
            Salah seorang yang terpengaruh oleh ajaran dan nubuat Hoffman adalah Jan Matthijs, tukang roti dari Haarlem, yang kemudian mengklaim diri sebagai pemimpin Anabaptis di Amsterdam.  Ia mengutus dua belas rasul untuk mentobatkan masyarakat.  Beberapa di antaranya tiba di kota Munster dan bertemu dengan ’teman seiman’.  Matthijs menyusul ke kota itu pada tahun 1534 dan menyatakan bahwa nubuat Hoffman akan segera terwujud, tetapi bukan di Strasburg, melainkan di Munster.  Karena tekanan dan penghambatan berat yang menimpa mereka selama ini, harapan itu malah segera berobah dan menjelma menjadi gerakan bersenjata yang menghalalkan kekerasan.  Berbeda dari Hoffman yang cinta damai, mereka memaksa masyarakat bertobat dan dibaptis di bawah ancaman senjata.
            Melihat keadaan berbahaya ini uskup kota itu mengarahkan tentara dengan dukungan para pangeran setempat, lalu mematahkan kekuatan gerakan itu.  Matthijs sendiri tewas, dan kepemimpinan beralih kepada Jan van Leiden, yang ternyata lebih gila lagi.  Ia memproklamasikan dirinya sebagai Raja Daud dan memerintah dengan tangan besi sambil membenarkan poligami.  Tetapi akhirnya gerakan itu menyerah kalah total kepada pasukan uskup pada tanggal 24 Juni 1535.  Kaum Anabaptis Munster ini sebelumnya sempat membangkitkan harapan di antara banyak orang di Jerman  Barat laut maupun Belanda.  Tetapi dengan peristiwa di atas mereka menjadi sangat kecewa, bahkan semakin menderita, karena sejak itu semua kalangan Anabaptis diidentikkan dengan kaum Anabaptis Munster, yaitu pengkhayal dan revolusioner.

Menno Simons dan Anabaptisme Moderat

            Untunglah tidak semua kalangan Anabaptis di Belanda mengikuti kelompok Munster, bahkan juga tidak mengikuti nubuat Hoffman.  Salah seorang di antara mereka yang melolak kekerasan dan gaya nubuat itu adalah Menno Simons (1496/7-1561).  Sebelumnya, sejak 1524, ia adalah imam di GKR.  Belum lama menjadi imam, ia sadar bahwa banyak ajaran dan praktik GKR, antara lain paham transsubstansiasi dalam Perjamuan Kudus, tedak sesuai dengan Alkitab.  Lalu ia semakin mendalami Alkitab, tetapi tidak segera meninggalkan tugas imamatnya.  Dalam pergumulannya menuju pada pemahaman baru, pada mulanya banyak dipengaruhi pandangan luther dan kawan-kawan.  Tetapi kemudian ia meninggalkan pandangan mereka, karena mereka membela Baptisan-anak yang menurut Meno Simons tidak alkitabiah, dan juga karena mereka ia nilai terlalu banyak mempertahankan tradisi GKR.  Tentang ini, dalam salah satu tulisannya Menno Simons antara lain mencatat:  ”Kedenganrannya janggal sekali bagiku, adanya Baptisan kedua kali.  Kuselidiki Alkitab dengan tekun dan kupikirkan dalam-dalam, tetapi tak ada yang kudapat mengenai Baptisan-anak”.  Ia kemudian tertarik pada ajaran Anabaptis, terutama mengenai Baptisan, kendati menolak cara kekerasan yang ditempuh kelompok Munster.
            Setelah peristiwa Munster yang tragis itu, pada tanggal 30 Januari 1536 Menno Simons secara terbuka menyatakan diri meninggalkan jabatan iman Katolik dan beralih pada kaum Anabaptis, tetapi bukan yang menganut garis keras, melainkan yang cinta damai dan menolak kekerasan.  Pada tahun 1537 ia ditahbiskan menjadi pendeta Anabaptis dan segera diangkat menjadi pemimpin kaum Anabaptis di Belanda, yang ia lakoni selama 25 tahun sambil terus mendalami Alkitab dan menulis banyak buku dan traktat sampai akhir hayatnya.
            Sudah sejak masa kepemimpinan Menno Simons kaum Anabaptis di Belanda (mulai sekarang sudah bisa disebut Mennonit) menghadapi banyak pergumulan.  Bukan hanya menghadapi tekanan GKR ataupun mengatasi fanatisme kelompok Anabaptis yang lain, melainkan juga – dan terutama – menghadapi penganur Reformasi Luther dan [teristimewa] calvin yang semakin kuat di negeri itu.  Kaum Mennonit memang sependapat dengan kaum Lutheran dan Calvinis mengenai banyak hal pokok dari ajaran Reformasi, tetapi kemudian menarik implikasi yang berbeda dari pokok-pokok ajaran itu. Bagi Kaum Mennonit, pembenaran oleh iman berarti bahwa hanya pribadi-pribadi yang sudah cukup dewasa untuk memiliki iman yang sadar dan yang dapat mengambil keputusan bagi dirinyalah yang boleh dibaptis.  Dengan kata lain, mereka yang hidupnyalah menampakkan buah-buah iman sajalah yang layak dihimpun ke dalam gereja.
            Bertentangan dengan pandangan ini, kaum Lutheran dan Calvinis – menutut kaum Anabaptis atau Mennonit – tetapi berpegang pada pandangan bahwa suatu masyarakat yang tidak memiliki agama yang satu dan sama bisa berbahaya, bilamana rakyat bebas memilih keanggotaannya di gereja mana saja ataupun bebas menolak semuanya.  Akibat perbedaan pendapat ini. Sejak 1540 Menno terlibat dalam serangkaian perdebatan dengan para pemimpin gereja-gereja negara ini, langsung maupun tertulis.
            Rangkaian perdebatan ini membuat jelas bahwa kaum Mennonit berbeda dengan gereja-gereja negara dalam 2 hal mendasar: kodrat (sifat dasar) kehidupan kristiani dan kodrat gereja.  Mengenai hal pertama, kaum Mennonit menekankan pentingnya kelahiran baru dan kemuridan.  Hanya pribadi-pribadi yang telah bertobat dan yang telah mengalami kasih karunia Allah-lah yang layak di baptis dan ambil bagian dalam gereja.  Bukti kelahiran baru terlihat di dalam upaya yang sungguh-sungguh untuk hidup sebagai murid yang sudah mengikatkan diri sepenuhnya kepada Kristus sebagai Tuhan.  Tanda-tanda yang hidup dari kemuridan adalah kasih dan tidak menggunakan perlawanan dan kekerasan (non-resistance).  Memgenai hal ke dua, kodrat gereja, kaum Anabaptis menekankan bahwa gereja haruslah merupakan perhimpunan umat beriman yang bersifat sukarela.  Warga gereja diikat bersama hanya oleh kesetiaan kepada Kristus dan kasih satu sama lain.  Hidup merreka sebagai murid-murid Kristus akan memisahkan mereka dari dunia dan mengucilkan [oleh gereja] berfungsi sebagai alat kasih untuk mengingatkan dan menegur yang bersalah di antara mereka.  Penggunaan pedang atau perlengkapan lain dari negara untuk memaksakan keinginan gereja harus ditolak, karena bertentangan dengan teladan dan pengajaran Kristus dan para rasul.
           
Kaum Mennonit sepeninggal Menno Simons

            Pandangan dan ajaran Menno Simons dan kaum Mennonit [Belanda] ini tentu bagi kita sangat mengesankan dan sulit untuk tidak dikatakan alkitabiah – paling tidak berdasarkan yang disajikan para tokoh dan penulis dari kalangan Mennonit.  Tetapi dalam kenyataanya di sepanjang abad ke-16, bahkan juga hinggah abad-abad berikutnya, merreka bersama kaum Anabaptis lainnya (yang seringkali dipukul rata) oleh ’gereja resmi’ – katolik roma ataupun protestan – di banyak tempat tetap di pandang sebagai penganut ajaran yang sesat.  Sementara itu oleh pemerintah mereka di nilai tidak memiliki loyalitas terhadap negara, karna pada umumnya     tidak mau menjadi tentara (bedasarkan pahan non-resistance dan non-violence) dan tisak mau mengangkat sumpah.  Akibatnya mereka sering ditindas, sehingga banyak yang hidup terpencil ataupun mengungsi menyebar ke berbagai negara lain.  Bagi kaum Mennonit, penghamnat dan penderitaan itu bkelihatannya sudah merupakan harga yang harus mereka bayar untuk mempertahankan iman mereka.  Karna itu mereka melakoninya tanpa mengadakan perlawanan, sambil berusaha melihat peluang-peluanng dan harapan-harapan baru.
            Salah satu wiilayah penyebaran yang paling menjanjikan harapan baru bagi mereka – seperti juga bagi kelompok religius lainnya yang mendambakan kebebasan adalah Amerika.  Dan ternyata memang disinilah mereka mendapatkesempatn berkembang dengan lumayan subur.  Sejak akhir abad ke-17 secara bergelombsng kaum Mennonit – dari Belanda maupun dari negara-negara persebarannya yang lain, misalnya Russia – bersama kaum Anabaptis lainnya masuk ke ’dunia baru’ ini, baik ke kawadan yang kemudian menjadi Amerika Serikat , maupun Canada dan Amerika Latin (khususnya Mexico).  Dalam waktu sekitar dua setengah abad jumlah mereka – yang bermigrasi dari Eropa maupun yang lahir atsau menjadi penganut di benua ini – mencapai ratusan ribu orang.  Tetapi sejak abad ke-19ada bebagai upaya mengarah keada kesatuan, baik kesatuan teritorial maupun kesatuan dalam hal ajaran .  bahkan pada abad ini di benua Amerikadan di sselluruh dunia terbentuk bebearapa wadah kebersamaan untuk menghaimpun kesatuan dan kekuatan kaum Mennonit pada khususunya dan Anabaptis pada umunya.  Yang terbentuk di AS namun juga  mencakupi gereja-gereja Mennonit di benua lain antara lain adalah Mennonite central Commitee (MCC), yang khusus di bentuk sekitar tahun 1918 sebagai wadah pelayanan bersama untuk menolong korban dari berbagai masalah sosial, seperti misalnay kelaparan, bencana alam, perang dan lain sebagainya.  MCC sempat hadir di Indonesia sesudah proklamasi Kemerdekaan 1945, antara lain dengan tujuan menolong korban pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan, terutama dari kalangan warga Mennonit di Jawa.  Dalam kenyataanya MCC lebih banyak mengadakan hubungan kerjasama dengan jemaat Mennonit Tionghoa di Kudus.
            Sementara itu di Eropa kaum Mennonit megalami pasang surut.  Arus pencerahan yang melanda Eropa pada abad ke-18 di datu pihak sempat mengurangi jumlah dan minat orang bergereja , trmasuk dilingkungan gereja-gereja Mennonit.  Tetapi kemudian warga Mennonit sempat pula mendapat keuntungan dari arus baru ini.
            Revolisi Prancis di bawah pimpinan Napoleon Bonspsrte, dengan semboyan Liberte, Egalite, Fraternite sempat pula memberi angin segar bagi kaum Mennonit, karna menjanjikan toleransi dan kebebasan beragama (sesuai dengan semangat pencerahan) yang sepintas lalu sama dengan yang diperjuangkan kaum Mennonit selama ini.  Tetapi undang-undang wajib militer yang di keluarkan oleh Napoleon segera menimbulkan kesulitan atas mereka.
            Dari Eropa barat lahir beberapa embaga penginjilan Mennonit, yang antara laini terbentuk berkat ketularan semangat pietisme dan Revvalisme.  Dari Belanda (dan Rusia) mengirim para penginjil mereka ke Indonesia dan berhasil membuahkan beberapa gereja Mennonit.  Hubungan kedua gereja di Indonesia dengan saudara-saudara serumpun mereka di Eropa maupun di seluruh dunia tetap terjalin dengan erat. Disamping dengan MCC yang dari AS, khusus yng dengan di Eropa tercipta antara lain lewat wadah The Mennonite World Confrene.  Konfrence ini berlangsung pertama kali di Jerman tahun 1925, sedangkan kedua ’gereja Mennonit’ di Indonesia, melalui ketua sinode masing-masing, ikut ambil bagian di dalamnya sejak konfrensi ke lima tahun 1952, dan resmi menjadi anggota sejak 1962.
Selayang Pandang Gereja-Gereja Mennonit di Indonesia

            Pada tahun 1994 gereja-gereja Mennonit di Indonesia boleh merayakan ulang tahunnya ke-140 bila baptisan pertama yang di layangkan Zending Piter Jansz, utusan badan penginjilan Mennonit , Doopsgesinde Zendingsverreniging (DZV), tanggal 16 maret 1854 atas 5 orang pribumi di desa Cumbring dekat Jepara dapat dijadikan tanggal kelahiran gereja-gereja ini.  Malah kalau mau di hitung sejak ke hadiran personil pemerintah Kolonial Hindia-Belanda (bahkan mungkin sudah sejak zaman VOC) yang menganutnya, usia itu mestinya lebih panjang lagi.  Sebab ada catatan sejarah, di antara tentara-tentara Belanda yang datang ke Sumatra Barat dan utara pada  tahun 1830-an untuk menumpas pasukan Paderi di bawah Tuanku Imam Bonjol terdapat beberapa warga gereja Mennonit.  Sesuai dengan semangat iman dan ajaran di dalam gereja mereka, mereka ini menginjili dan membabtiskan beberapa orang Batak di Tampanuli Selatan.
            Badan zending DZV tersebut dibantu oleh beberapa penginjil Mennonit dari Rusia, terutama bekerja di Jawa Tengah bagian Utara dan di daerah Kepala burung, Irian Jaya.  Beberapa diantara zendelingnya juga giat dan berjasa dalam penerjemahan Alkitab kedalam bahasa Jawa dan Melayu (misalnya H. Klinkert, salah seorang penerjemah Alkitab bahasa Indonesia terjemahan lama).  Jemaat-jemaat yang berhasil didirikannya di Jawa Tengah itu sekarang berhimpun dalam dua organisasi gereja:  Gereja Injil di Tanah Jawa (GITJ) yang berpusat di pati, yang warga gereja terutama dari kalangan pribumi Jawa dan Persatuan Gereja- gereja Kristen Muria (Menonnit) Indonesia (PGKMI) yang berpusat di Semarang, dengan warga gereja sebagian besar dari kalangan Tionghoa.  Sementara GITJ lebih banyak bertahan di daerah Pati (banyak di rundung dengan sengketa intern), PGKMI sudah ’berekspansi’di luar daerah asalnya.  Di Jakarta misalnya, kita menemukan jemaat-jemaat PGKMI yang pertumbuhannya cukup subur dan jumlahnya terus bertambah.  Sementara itu yang di Irian Jaya bergabung dalam Gereja Injili Irian Jaya (GKI Irja).  Seperti sudah di catat , kedua gereja ini juga menjadi anggota dari The Menonnite World Conference dan menjalin hubungan dengan berbagai lembaga Menonnit internasional, kendati hubungan itu terkadang diwarnai dengan berbagai masalah.
            Dsejak tahun 1871 sebenarnya DZV juga mengutus beberapa zending untuk meneruskan pekerjaan di daerah Mandailing (khusus didaerah Pakantan) Tapanuli selatan.  Tetapi kurang berkembang, antaran lain kerena agama islam yang sangat kuat di sana, hasil pekerjaan mereka yang tak seberapa itu di serahkan kepada batakmission, yaitu bagian dari RMG (badan zending dari Jerman) yang bergiat di Tanah Batak pada dasawarsa 1950-an beberapa dari jemaat di Tapanuli Selatan ini bergabung membentuk Gereja Menonnit Protestan Indonesia.  Tetapi sejak 1970-an jemaat-jemaat yang kecil itu bergabung dalam Gereja Protestan Angkola (GKPA).
            Pada dasawarsa 1960-an dan 1970-an, sementara PGKMI mulai giat berekapansi ke luar daerah Muria (persebaran di kota-kota di jawa terutama di Jakarta), GITJ juga giat mengirimkan warganya bertransmigrasi, antara lain ke Sumatra Selatan (kecamatan Belitang, kabupaten Ogankemering Ulu).  Jemaat-jemaat transmigrasi ini di kemal dengan keuletan mereka bekerja dan dengan ketekuannya beribadah.  Di dalam kebaktian lingkungan yang di selenggarakan hampir tiap malam, mereka dapat menyanyikan lagu-lagu dari kidung pasamuwan Kristen Jawi (kidung persekutuan Kristen jawa, yang juga di gunakan di GKI) secara’luar kepala’ dengan empat suara.  Ini penulis alami dan saksikan sendiri ketika menjalankan tugas Collegium Pastorale, semacam praktek lapangan.  Belakangan ini jemaat tersebut bergabung dengan jemaat-jemaat  hasil penginjilan danpembinaan Gereja Kristen jawa (GKJ) didalam gereja-gereja Kristen Sumatra Bagian Selatan (GKSBS), yang baru terbentuk tahun 1987.
            Pada awal pasal ini telah di catat bahwa kedua gereja Menonnit di Indonesia ini sebenarnya tidak murni Menonnit.  Antara lain terlihat dalam rumusan pengakuan Iman yang di buat masing-masing.  Dalam rumusan pernyataan iam PGKMI yang di sahkan sidang sinodennya pada tanggal 31 januari 1958, kita melihat bahwa sebagian besar dari ke-20 pasal isinya merupakan saduran (terjemahan) dari pernyataan iman GCMC dan gereja-gereja Menonnit lainnya di AS.  Hal itu tidak mengherankan karena koseptornya Herman Tan Hao An, adalah tamatan seminari Menonnit di AS, terutama di bawah bimbingan Profesor H.S. Bender, salah seorang teolog Menonnit yang hampir terkemuka di abad ini.  Tan Hao An baru kembali dari AS pada akhir 1954, merupakan setu-satunya pendeta PGKMI yang berpendidikan tinggi teologi ketika itu, dan baru di angkat menjadi ketua sinode.
            Ada satu butir yang penting dan menarik dari pengakuan atau pernyataan iman gereja-gereja Menonnit yang tidak terdapat dalam pernyataan iman PGKMI itu, yakni pernyataan menolak berpartisipasi di dalam angkatan bersenjata (bagian dari sikap nir-kekerasan).  Menurut L.M. yonder sekurang-kurangnya ada dua alasan untuk meniadakan butir-butir itu.  Pertama, GITD/GITJ sudah sejak pemisahan dari DZV tahun 1940 meniadakan butir itu dalam rumusan pernyataan imannya agar tidak di cap sebagai pemdukung pemerintah kolonial dan penentang gerakan perjuangan kemerdekaan.  Ini juga harus diperhitungkan PGKMI kalau tak mau di tuduh anti-nasionalisme Indonesia.  Kedua, di lingkunganPGKMI terdapat kelompok yang lebih tertarik menjejaki penyatuan dengan gereja-gereja Tionghoa lainnya, dan karenanya berupaya mengurangi sebanyak mungkin ciri khas Menonnit.  Yang terakhir ini harus betul-betul di perhitungkan Tan Hao An kalau ia mau diterma semua kalangan di gereja itu.
            Juga di dalam pernyataan iman GITD/GITJ versi terakhir (sayang tidak di sebut tanggal pengesahannya), di samping tidak tidak adanya butir yang berisi penolakan menjadi angkatan bersenjata, juga tidak ditemukan butir tentang larangan bersumpah, yang memang bisa mempersulit warganya kalau hendak menjadi pegawai negeri.  Dengan kata lain, di sana-sini kedua gereja itu sedikit-banyak memperhitungkan juga konteks dan kondisi Indonesia dalam perumusan pernyataan imannya.  Boleh jadi partisipasi mereka di dalam DGI/PGI ikut mendorong mereka memperhatikan hal itu.  Toh L.M. Yoder menilai bahwa yang dilakukan pemimpin PGKMI lebih banyak mencangkokan rumusan pernyataan iman Mennonit dari luar negeri, ketimbang mendorong PGKMI bekerja keras menghasilkan pernyataan iman yang memancar dari kehidupan dan iman gereja itu sendiri.

Mennonit dan Fundamentalisme pada Abad ke-20

            Sejak awal abad ini kaum Mennonit bergumul dengan semangat dan paham fundamentalisme.  Semula, pada sekitar dua dasawarsa pertama abad ini, kaum Mennonit melihat paham ini sejalan dengan apa yang diyakininya.  Sama dengan kaum fundamentalis, kaum Mennonit menolak paham Modernisme.  Mereka sama-sama yakin bahwa Alkitab adalah hasil pengilhaman langsung dari Allah dan karena itu tidak mungkin mengandung kesalahan.  Tetapi sejak 1930-an banyak pemimpin Mennonit, terutama di Amerika, melihat bahwa, sama seperti Liberalisme, fundamentalisme juga berbeda dari – dan berbahaya bagi -  keyakinan mereka.  Sebab fundamentalisme sangat mendukung individualisme, menekankan perbedaan derajat pria dengan wanita, dan mendukung militerisme, yang semuanya bersumber dari pemahaman atas Alkitab, yang berbeda dari kaum Mennonit.  Tetapi paham fundamentalisme tetap diminati banyak warga Mennonit.  Sejak 1970-an para tokoh dan pengamat Mennonit semakin menyadari bahwa pemahaman dan citarasa keagamaan di kalangan Mennonit semakin beranekaragam, termasuk menyangkut paham fundamentalisme.  Kaum Mennonit yang berpendidikan, berpenghasilan baik dan berada di kota-kota besar biasanya tidak tertarik pada paham ini, sedangkan yang kurang berpendidikan, berpenghasilan rendah dan tinggal di luar kota banyak yang tertarik.  Bagaimana pun juga, menurut para pengamat ada sekurang-kurangnya lima hal yang merupakan keunikan Mennonit yang bertentangan dengan fundamentalisme: cinta damai, jatidiri di dalam persekutuan, komunalisme, saling melayani dan tidak individualis.