Aliran
Mennonit merupakan bagian dari gerakan Anabaptis yang muncul di daratan Eropa
tak lama sesudah Martin Luther mencanagkan Reformasi. Aliran ini kini terjelma dalam puluhan
organisasi gereja yang tersebar di lima benua, kendati jumlah warganya tidak
besar disbanding beberapa rumpun gereja Protestan lainnya yang dibicarakan pada
pasal-pasal terdahulu maupun kemudian (menurut Mennonite Yearbook 1990-1991, hal.221, pada tahun 1988 berjumlah
802.900 jiwa).
Aliran
Mennonit termasuk salah satu aliran yang sudah lama hadir di Indonesia. Sekarang ia hadir terutama lewat dua
organisasi gereja, yakni GITJ yang berpusat di Pati dan PGKMI yang berpusat di Semarang, kendati dalam bentuk dan isi yang di sana sini sudah
‘dimodifikasi’. Kedua gereja ini sudah
sejak lama menjadi anggota DGI/PGI (GITJ sudah sejak DGI berdiri pada tahun
1950, dan [P]GKMI sejak 1960). Catatan
ini penting, karena di AS, tempat paling banyak penganut aliran Mennonit
sedunia, gereja-gereja Mennonit tidak menjadi anggota dewan gereja
setempat. Nanti kita akan membicarakan
‘gereja-gereja Mennonit’ di Indonesia ini secara tersendiri.
Namun Mennonit berasal dari nama Menno Simons, tokoh gerakan Anabaptis
di Belanda, yang menganut garis moderat dan anti-kekerasan. Seperti akan kita lihat pada pasal 6, para
perintis Gereja Baptis di Inggris semula juga mempunyai kontak dengan
jemaat-jemaat pengikut Menno Simons ini, ketika mereka mengungsi ke Belanda
pada awal abad ke-17. Tetapi kemudian
banyak tokoh dan sejarawan Gereja-gereja Baptis yang kurang suka mengakui
hubungan langsung di antara kedua aliran ini, karena ada beberapa pokok ajaran
kaum Anabaptis dan Mennonit yang tidak dianutnya, bahkan dianggap bertentangan
dengan ajaran Baptis.
Sebenarnya
aliran Mennonit sendiri pun tak bisa sepenuhnya diidentikkan dengan kaum
Anabaptis, karena – seperti akan kita lihat di bawah – di kalangan Anabaptis
ada beberapa garis atau aliran. Tetapi –
seperti terungkap pada mukadimah pengakuan iman mereka yang dikutip di atas –
mereka mengakui adanya garis hubungan langsung, paling tidak dengan kaum
Anabaptis yang di Swiss. Karena itu,
dalam rangka menelusuri sejarah aliran ini, kita harus memulainya dengan
mencatat timbulnya kaum Anabaptis di Swiss dan Jerman.
LATAR BELAKANG
DAN SEJARAH KEMUNCULANNYA
Pada mukadimah Pengakuan
iman Mennonit yang di kutip di atas di katakana bahwa Gereja Mennonit di mulai
di Swiss tahun 1525. Tetepi untuk
memahami kemunculannya, dengan terutama mengandalkan tulisan J.C Wenger (1966),
C.J. Dyck (1967) dan Lane (1990:43-144), kita perlu mundur beberapa tahun
melihat serangkaian peristiwa yang menandai mulainya Reformasi di Swiss.
Di
Swiss dapat dikatakan bahwa reformasi dicanangkan oleh Ulrich Swingli (1484-1531) dan kawan-kawan. Sebelum menjadi reformator, sama seperti
Luther, Zwingli adalah seorang imam GKR.
Tetapi berbeda dari Luther, Zwingli dangat di pengaruhi oleh Humanisme
dari Erasmus dan karena itu memberi tempat yang penting bagi akal budi dalam
rangka memahami ajaran gereja. Hal ini
kelak ikut menentukan perbedaan pandangan diantara keduanya, antara lain
mengenai kehadiran Kristus di dalam perjamuan Kudus.
Sejak
1516 Zwingli sudah milai berpikir untuk mengupayakan reformasi gereja, dan itu
dilakukannya berlandaskan keyakinan bahwa Allkiatb merupakan otoritas tertingi
dan terakhir di dalam gereja dan masyarakat.
Sejak 1518 ia sudah mulai menyajikan khotbahnya berupa uraian isi
Alkitab secara sistimatis. Penyampaian
khotbah yang langsung bersumber dari Alkitab dan berisi imbauan reformasi ini
semakin diintensifkannya ketika ia di tempatkan di Zurich dejak tahun 1520. hal ini mengagetkan jemaat di kota itu, karma isinya sama sekali berbeda dari yang lazim
diperdengarkan imam-imam GKR padahal pada wakatu itu gelombang reformassi
Luther belum sampai ke sana.
Pada
tahun 1522 Zwingli dan sejumlah orang yang sepandangan dengannya mengeluarkan
pandangan yang berisi tuntutan pembaharuan secara radikal dalam gereja. Pemerintah kota
Zurich segera
mengangkatnya kembali ke posisi semula, tetapi tidak lagi di bawah wewenang
hierarki GKR, melainkan langsung di bawah wewenang pemerintah. Peristiwa ini menandai awal dari Reformasi di
Swiss yang mengarah pada bentuk gereja-negara.
Pihak GKR berupaya memprotes tindakan pemerintah kota
Zurich itu,
tetapi tidak begitu berhasil.
Dalam
waktu singkat pemerintah kota
itu melihat bahwa proses dan gerakan reformasi ini perlu dikendalikan, kara ada
tuntutannya yang mengandung konsekuendi politis yang besar, sehingga sulit di
terima pemerintah. Misalnya, setelah
memdengarkan khotbah-khotbah Zwingli yang di gali dari Kitab-Kitab Injil, para
petani disekitar Zurich
berkesimpulan bahwa mereka tidak prlu lagi membayar pajak dan perpuluhan. Begitu juga dengan prnyataan Zwingli bahwa
misa GKR yang merupakan tindakan mengorbnkan-ulang tubuh dan darah Kristus
harus di ganti dengn pelayanan kominiyang bersifat injili yaitu sebagai
pengenangan. Bila benar-benar pernyataan
itu di wujudkan, pemerintah kota itu kuatir
bahwa hubungan kota
itu dengan kota-kota lainnya di negeri itu akan rusak, baik di bidang gerejawi,
maupun di bidang politik dan ekonomi.
Ketika Zwingli melaksanakan isi pernyataannya pada bulan Desember 1523,
pemerintah kota
menolak memberi dukungan. Akibatnya pada bulan Januari 1524 Zwingli terpaksa
menandatangani beberapa kesepakatan, antara lain:
- menunda pelaksanaan komuni (Perjamuan Kudus) yang bersifat reformatoris itu, jadi tetap melaksanakan model perjamuan Kudus dan wawasan misa GKR
- untuk selanjutnya segala sesuatu yang hendak diselenggarakan oleh jemaat dikota itu harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari pemerintah kota. Dengan demikian kendali reformasi di zurich berada di tangan pemerintah, dan lajunya menjadi sangat terbatas.
Kompromi Zwingli dengan
pemerintah kota ini oleh sebagian jemaat pendukung gerakan reformasi di Zurich
dianggap menggiring jemaat reformatoris kearah status gereja-negara, sehingga
menimbulkan rasa tidak puas. Dibawah
pimpinan Conrad Grebel seorang warga
jemaat turunan bangsawan kaya, mereka menggugat campur tangan dan kendali pemerintah
atas kehidupan dalam urusan Perjamuan Kudus, karena menurut mereka hal itu
bertentangan dengan Firman Allah.
Selanjutnya kelompok ini menganjurkan dua pokok pikiran:
1.
membentuk
partai reformasi sebagai partai politik baru di kota Zurich (dengan harapan
akan menang dan menghasilkan dewan dan pemerintah kota yang sepenuhnya akan
mendukung laju reformasi)
2.
babtisan
anak tidak sah, karena tidak memungkinkan calon babtisan untuk lebih dahulu
menyatakan respons probadi atas pengampunan dosa yang ditawarkan Kristus maupun
untuk menyatakan ketaatan serta pertobatan, sebagai mana diamanatkan dalam
Alkitab.
Ternyata gagasan ini tidak
di setujui oleh Zwingli. Khususnya
tentang Babtisan anak, pada tahun 1525 Zwingli menulis buku, Baptisan ulang dan Baptisan Anak. Di situ ia membela baptisan anak atas
dasar bahwa itulah tanda perjanjian dan perjanjian itu meliputi seluruh
keluarga, jadi bukan hanya si terbaptis.
Namun ia sekaligus menolak pandangan GRK bahwa baptisan itu memberi
kelahiran baru dan pengampunan dosa.
Bagi Zwingli Baptisan terutama merupakan tanda lahiriah dari iman.
Akibat sanggahan Zwingli
terhadap penolakan baptisan anak itu, Grebel dan kawan-kawan menulis surat
kepada yang juga mereka anggap sebagai tokoh-tokoh reformasi, yaitu Marthin Luther,
Andreas Carlstadt dan Thomas Munzer, dengan keyakinan bahwa mereka akan
memberikan dukungan. Khusus kepada
Munzer dan kawan-kawan, Grebel dan kawan-kawan menambahkan imbauan dan
peringatan, agar reformasi tidak di jalankan dengan kekerasan dan kekuatan
senjata, karena mendengar bahwa Munzer dan kawan-kawan mengarah de sana. Dalam surat itu di tulis: ”Injil dan para penganutnya tidak di lindungi
oleh pedang, dan juga tak perlu melindungi diri sendiri. Orang-orang kristen sejati adalah domba-domba
di tengah serigala...., mereka harus
menanggung banyak siksaan, penghambatan, penderitaan dan maut.” dari isi surat itu kita dapat mengetahui
bahwa waktu itu sudah ada kalangan Anabaptis tertentu yang menggunakan atau
menghalalkan kekerasan dalam mewujudkan gagasan dan ajaran mereka, dan itu
tidak di dukung oleh kelompok Anabaptis di Swiss.
Ternyata surat itu tidak
berjawab, sehinggah Grebel dan kawan-kawan memutuskan untuk maju terus, kendati
mereka mulai mengalami penghambatan dan penganiayaan karena dianggap
menyesatkan. Pada tanggal 21 Januari 1525 kelompok kecil ini yang
di pimpin Grebel berkumpul mengadakan penelaahan Alkitab. Di tengah keasyikan
itu, seorang pesertanya, Georg Cajacob (= George Blaurock), meminta supaya
Grebel melayankan Baptisan yang benar atas dirinya, yaitu yang sesuai dengan
amanat Alkitab, karena dalam perkumpulan itu tidak hadir seorang pejabat gereja
yang ditahbiskan. Grebel akhirnya
memnuhi permintaan itu, dan juga melayankan baptisan atas orang-orang lain
dalam kumpulan itu, yang juga memintanya.
Peristiwa ini oleh kalangan Mennonit dipahami sebagai hari lahirnya
Anabaptisme, bahkan lahirnya reformasi sejati.
”Di sinilah lahir gereja Protestan yang pertama.” kata J.H. Yonder (Dyckn [ed] 1967:34).
Peristiwa 21 Januari 1525
itu mengundang pemerintah dan gereja resmi di Zurich untuk semakin memperkeras
penghambatan atas kelompok yang mereka juluki Anabaptis (pembaptis- ulang). Kelompok ini sebenarnya lebih suka disebut Persaudaraan
(Brethren). Di tengah suasana
penghambatan itu kedalam kelompok mereka bergabunglah seorang doktor teologi, Balthasar Hubmainer, yang kemudian
banyak berperan sebagai perumus pandangan kaum Anabaptis. Sebelumnya Hubmainer adalah kawan dekat
Zwingli, tetapi mereka berbeda pandangan tentang baptisan. Menurut Hubmainer, nama Anabaptis sebenarnya
tidak cocok dikenakan kepada mereka, sebab mereka tidak pernah mengajarkan
Baptisan ulan. Yang mereka ajarkan
adalah baptisan menurut Alkitab.
Kalaupun kemudian ada yang meminta untuk di baptis, itu bukanlah
baptisan ulang, sebab baptisan anak yang mereka terima dari GKR bukanlah
baptisan yang Alkitabiah, dan karena itu tidak sah.
Apapun yang mereka katakan
tentang paham baptisan yang mereka anut, yang pasti kalangan GKR dan gereja
Reformasi yang ”magisterial” (yang mendukung pemerintah) tetap memandang mereka
sebagai penyebar ajaran sesat, sehinggah patut dihambat. Tidak sedikit dari mereka terutama para
pemimpinnya yang di penjarakan dan di
bakar hidup-hidup. Penghambatan ini
nantinya menjadi salah satu penyebab meluasnya
kaum Anabaptis di benua Amerika.
Diantara mereka pun terdapat perbedaan pandangan dna gara mengungkapkan
keyakinan. Kelompok yang justru semakin
bersemangat dan emosianal (menghalakan kekerasan) oleh penentang-penentang
mereka di juluki Schwarmer (kaum
fanatik). Akibatnya kalangan kaum
Anabaptis terjadi disintegrasi.
Untuk mencegah
desintegrasi yang semakin parah, pada bulan Februari 1527 mereka berkumpul di
desa schleitheim, dekat kota
Schaffhausen, Swiss. Di mulai dengan
perdebatan yang sengit, namun ternyata pertemuan itu dapat di akhiri dengan
sejumlah kesepakatan, hal yang oleh mereka di pahami dan di alami
sebagaipimpinan Roh Kudus. Rumusan
kesepakatan itu sering dikenal dengan nama pengakuan
iman Schleitheim, rumusan pengakuan iman pertama di kalangan
Anabaptis. Sementara itu, mereka yang
berkumpul dan merumuskannya lebih suka menyebutnya kesepakatan persaudaraan.
Dokumen
ini, setelah didahului pengantar yang cukup panjang, berisi tujuan pokok
pernyataan iman. Di samping memuat
pokok-pokok pandangan dan ajaran kaum Anabaptis – sejauh yang berkumpul di sana
pada waktu itu – dokumen ini pada pokoknya juga hendak menggungkapkan pemahaman
kaup Anabaptis tentang kebebasan rohani, yang berbeda dari kaum fanatik maupun
dari kaum konformis yang tetap berada di dalam gereja-negara. Ketujuh pokok itu
adalah: (1) Baptisan; (2) Pengucilan; (3) Perjamuan Kudus; (4) Pemusahan dari
dunia kegelapan dan dari kekejian; (5) Kepemimpinan [pendeta] di dalam gereja
(6)[Larangan] menggunakan ’pedang’ (senjata; kekerasan); dan (7) [Larangan
ber]sumpah.
Setelah pertemuan dan
kesepakatan Schleitheim, penghambatan atas kaum Anabaptis semakin keras,
sehingga gerakan dan aliran ini kian menyebar ke berbagai penjuru Jerman dan
negeri-negeri sekitarnya. Kita tidak
dapat membicarakan semuanya. Yang perlu
secara khusus kita lihat, sehubungan dengan kehadiran mereka di Indonesia,
adalah perkembangan Anabaptisme di Belanda, dengan tokoh utamanya Menno Simons. Tetapi sebelum membicarakan tokoh ini, perlu
kita terlebih dahulu melihat sejenak perkembangan Anabaptisme di Belanda
sebelum tampilnya tokoh ini.
Anabaptisme di Belanda
Paham Anabaptis tiba di Belanda terutama berkat kiprah Melchior Hoffman (1493-1543), baik melalui kehadiran dan khotbahnya
sendiri maupun melalui pengkhotbah-pengkhotbah Anabaptis yang ia utus. Hoffman sendiri semula adalah seorang
pengkhotbah dan penginjilan Lutheran yang bergiat di Swedia dan Jerman. Kemudian ia beralih menjadi pengikut Zwingli,
lalu sejak 1530 beralih menjadi Anabaptis, setelah berkenalan dengan paham ini
di kota Strasburg. Bahkan ia bernubuat
bahwa Yerusalam Baru yang rohani tak lama lagi akan terwujud di Strasburg. Hoffman sendiri kemudian masuk penjara atas
tuduhan menyebar ajaran sesat, sementara nubuatnya tidak menjadi
kenyataan. Tetapi pengaruhnya atas
pemimpin-pemimpin Anabaptis di Belanda tetap kuat. Nubuatnya sempat menggerakkan sejumlah warga
masyarakat, yang ketika itu menderita akibat penaklukan Spanyol yang menganut
Katolik Roma maupun akibat kemerosotan mutu kerohanian GKR.
Salah seorang yang
terpengaruh oleh ajaran dan nubuat Hoffman adalah Jan Matthijs, tukang roti
dari Haarlem, yang kemudian mengklaim diri sebagai pemimpin Anabaptis di
Amsterdam. Ia mengutus dua belas rasul untuk mentobatkan
masyarakat. Beberapa di antaranya tiba
di kota Munster dan bertemu dengan ’teman seiman’. Matthijs menyusul ke kota itu pada tahun 1534
dan menyatakan bahwa nubuat Hoffman akan segera terwujud, tetapi bukan di
Strasburg, melainkan di Munster. Karena
tekanan dan penghambatan berat yang menimpa mereka selama ini, harapan itu
malah segera berobah dan menjelma menjadi gerakan bersenjata yang menghalalkan
kekerasan. Berbeda dari Hoffman yang
cinta damai, mereka memaksa masyarakat bertobat dan dibaptis di bawah ancaman
senjata.
Melihat keadaan berbahaya
ini uskup kota itu mengarahkan tentara dengan dukungan para pangeran setempat,
lalu mematahkan kekuatan gerakan itu.
Matthijs sendiri tewas, dan kepemimpinan beralih kepada Jan van Leiden, yang ternyata lebih
gila lagi. Ia memproklamasikan dirinya
sebagai Raja Daud dan memerintah dengan tangan besi sambil membenarkan
poligami. Tetapi akhirnya gerakan itu
menyerah kalah total kepada pasukan uskup pada tanggal 24 Juni 1535. Kaum Anabaptis
Munster ini sebelumnya sempat membangkitkan harapan di antara banyak orang di
Jerman Barat laut maupun Belanda. Tetapi dengan peristiwa di atas mereka
menjadi sangat kecewa, bahkan semakin menderita, karena sejak itu semua
kalangan Anabaptis diidentikkan dengan kaum Anabaptis Munster, yaitu pengkhayal
dan revolusioner.
Menno Simons dan Anabaptisme Moderat
Untunglah tidak semua
kalangan Anabaptis di Belanda mengikuti kelompok Munster, bahkan juga tidak
mengikuti nubuat Hoffman. Salah seorang
di antara mereka yang melolak kekerasan dan gaya nubuat itu adalah Menno Simons (1496/7-1561). Sebelumnya, sejak 1524, ia adalah imam di
GKR. Belum lama menjadi imam, ia sadar
bahwa banyak ajaran dan praktik GKR, antara lain paham transsubstansiasi dalam Perjamuan
Kudus, tedak sesuai dengan Alkitab. Lalu
ia semakin mendalami Alkitab, tetapi tidak segera meninggalkan tugas
imamatnya. Dalam pergumulannya menuju
pada pemahaman baru, pada mulanya banyak dipengaruhi pandangan luther dan
kawan-kawan. Tetapi kemudian ia
meninggalkan pandangan mereka, karena mereka membela Baptisan-anak yang menurut Meno Simons tidak alkitabiah, dan juga
karena mereka ia nilai terlalu banyak mempertahankan tradisi GKR. Tentang ini, dalam salah satu tulisannya
Menno Simons antara lain mencatat:
”Kedenganrannya janggal sekali bagiku, adanya Baptisan kedua kali. Kuselidiki
Alkitab dengan tekun dan kupikirkan dalam-dalam, tetapi tak ada yang kudapat
mengenai Baptisan-anak”. Ia kemudian
tertarik pada ajaran Anabaptis, terutama mengenai Baptisan, kendati menolak
cara kekerasan yang ditempuh kelompok Munster.
Setelah peristiwa Munster
yang tragis itu, pada tanggal 30 Januari 1536 Menno Simons secara terbuka
menyatakan diri meninggalkan jabatan iman Katolik dan beralih pada kaum
Anabaptis, tetapi bukan yang menganut garis keras, melainkan yang cinta damai
dan menolak kekerasan. Pada tahun 1537
ia ditahbiskan menjadi pendeta Anabaptis dan segera diangkat menjadi pemimpin
kaum Anabaptis di Belanda, yang ia lakoni selama 25 tahun sambil terus
mendalami Alkitab dan menulis banyak buku dan traktat sampai akhir hayatnya.
Sudah sejak masa
kepemimpinan Menno Simons kaum Anabaptis di Belanda (mulai sekarang sudah bisa
disebut Mennonit) menghadapi banyak pergumulan.
Bukan hanya menghadapi tekanan GKR ataupun mengatasi fanatisme kelompok
Anabaptis yang lain, melainkan juga – dan terutama – menghadapi penganur
Reformasi Luther dan [teristimewa] calvin yang semakin kuat di negeri itu. Kaum Mennonit memang sependapat dengan kaum
Lutheran dan Calvinis mengenai banyak hal pokok dari ajaran Reformasi, tetapi
kemudian menarik implikasi yang berbeda dari pokok-pokok ajaran itu. Bagi Kaum
Mennonit, pembenaran oleh iman berarti bahwa hanya pribadi-pribadi yang sudah
cukup dewasa untuk memiliki iman yang sadar dan yang dapat mengambil keputusan
bagi dirinyalah yang boleh dibaptis.
Dengan kata lain, mereka yang hidupnyalah menampakkan buah-buah iman sajalah
yang layak dihimpun ke dalam gereja.
Bertentangan dengan
pandangan ini, kaum Lutheran dan Calvinis – menutut kaum Anabaptis atau
Mennonit – tetapi berpegang pada pandangan bahwa suatu masyarakat yang tidak
memiliki agama yang satu dan sama bisa berbahaya, bilamana rakyat bebas memilih
keanggotaannya di gereja mana saja ataupun bebas menolak semuanya. Akibat perbedaan pendapat ini. Sejak 1540
Menno terlibat dalam serangkaian perdebatan dengan para pemimpin gereja-gereja
negara ini, langsung maupun tertulis.
Rangkaian perdebatan ini
membuat jelas bahwa kaum Mennonit berbeda dengan gereja-gereja negara dalam 2
hal mendasar: kodrat (sifat dasar) kehidupan kristiani dan kodrat gereja. Mengenai hal pertama, kaum Mennonit menekankan pentingnya kelahiran baru
dan kemuridan. Hanya pribadi-pribadi
yang telah bertobat dan yang telah mengalami kasih karunia Allah-lah yang layak
di baptis dan ambil bagian dalam gereja.
Bukti kelahiran baru terlihat di dalam upaya yang sungguh-sungguh untuk
hidup sebagai murid yang sudah mengikatkan diri sepenuhnya kepada Kristus
sebagai Tuhan. Tanda-tanda yang hidup dari kemuridan adalah kasih
dan tidak menggunakan perlawanan dan kekerasan (non-resistance). Memgenai hal ke dua, kodrat gereja, kaum
Anabaptis menekankan bahwa gereja haruslah merupakan perhimpunan umat beriman
yang bersifat sukarela. Warga gereja diikat bersama hanya oleh
kesetiaan kepada Kristus dan kasih satu sama lain. Hidup merreka sebagai murid-murid Kristus
akan memisahkan mereka dari dunia dan mengucilkan [oleh gereja] berfungsi
sebagai alat kasih untuk mengingatkan dan menegur yang bersalah di antara
mereka. Penggunaan pedang atau perlengkapan
lain dari negara untuk memaksakan keinginan gereja harus ditolak, karena
bertentangan dengan teladan dan pengajaran Kristus dan para rasul.
Kaum Mennonit sepeninggal
Menno Simons
Pandangan dan ajaran Menno
Simons dan kaum Mennonit [Belanda] ini tentu bagi kita sangat mengesankan dan
sulit untuk tidak dikatakan alkitabiah – paling tidak berdasarkan yang
disajikan para tokoh dan penulis dari kalangan Mennonit. Tetapi dalam kenyataanya di sepanjang abad
ke-16, bahkan juga hinggah abad-abad berikutnya, merreka bersama kaum Anabaptis
lainnya (yang seringkali dipukul rata) oleh ’gereja resmi’ – katolik roma
ataupun protestan – di banyak tempat tetap di pandang sebagai penganut ajaran
yang sesat. Sementara itu oleh
pemerintah mereka di nilai tidak memiliki loyalitas terhadap negara, karna pada
umumnya tidak mau menjadi tentara
(bedasarkan pahan non-resistance dan non-violence) dan tisak mau mengangkat
sumpah. Akibatnya mereka sering
ditindas, sehingga banyak yang hidup terpencil ataupun mengungsi menyebar ke
berbagai negara lain. Bagi kaum
Mennonit, penghamnat dan penderitaan itu bkelihatannya sudah merupakan harga
yang harus mereka bayar untuk mempertahankan iman mereka. Karna itu mereka melakoninya tanpa mengadakan
perlawanan, sambil berusaha melihat peluang-peluanng dan harapan-harapan baru.
Salah satu wiilayah
penyebaran yang paling menjanjikan harapan baru bagi mereka – seperti juga bagi
kelompok religius lainnya yang mendambakan kebebasan adalah Amerika. Dan ternyata memang disinilah mereka
mendapatkesempatn berkembang dengan lumayan subur. Sejak akhir abad ke-17 secara bergelombsng
kaum Mennonit – dari Belanda maupun dari negara-negara persebarannya yang lain,
misalnya Russia – bersama kaum Anabaptis lainnya masuk ke ’dunia baru’ ini,
baik ke kawadan yang kemudian menjadi Amerika Serikat , maupun Canada dan
Amerika Latin (khususnya Mexico). Dalam
waktu sekitar dua setengah abad jumlah mereka – yang bermigrasi dari Eropa
maupun yang lahir atsau menjadi penganut di benua ini – mencapai ratusan ribu
orang. Tetapi sejak abad ke-19ada
bebagai upaya mengarah keada kesatuan, baik kesatuan teritorial maupun kesatuan
dalam hal ajaran . bahkan pada abad ini
di benua Amerikadan di sselluruh dunia terbentuk bebearapa wadah kebersamaan
untuk menghaimpun kesatuan dan kekuatan kaum Mennonit pada khususunya dan
Anabaptis pada umunya. Yang terbentuk di
AS namun juga mencakupi gereja-gereja
Mennonit di benua lain antara lain adalah Mennonite
central Commitee (MCC), yang khusus di bentuk sekitar tahun 1918 sebagai
wadah pelayanan bersama untuk menolong korban dari berbagai masalah sosial,
seperti misalnay kelaparan, bencana alam, perang dan lain sebagainya. MCC sempat hadir di Indonesia sesudah
proklamasi Kemerdekaan 1945, antara lain dengan tujuan menolong korban
pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan, terutama dari kalangan warga Mennonit
di Jawa. Dalam kenyataanya MCC lebih
banyak mengadakan hubungan kerjasama dengan jemaat Mennonit Tionghoa di Kudus.
Sementara itu di Eropa
kaum Mennonit megalami pasang surut.
Arus pencerahan yang melanda Eropa pada abad ke-18 di datu pihak sempat
mengurangi jumlah dan minat orang bergereja , trmasuk dilingkungan
gereja-gereja Mennonit. Tetapi kemudian
warga Mennonit sempat pula mendapat keuntungan dari arus baru ini.
Revolisi Prancis di bawah
pimpinan Napoleon Bonspsrte, dengan semboyan Liberte, Egalite, Fraternite
sempat pula memberi angin segar bagi kaum Mennonit, karna menjanjikan toleransi
dan kebebasan beragama (sesuai dengan semangat pencerahan) yang sepintas lalu
sama dengan yang diperjuangkan kaum Mennonit selama ini. Tetapi undang-undang wajib militer yang di
keluarkan oleh Napoleon segera menimbulkan kesulitan atas mereka.
Dari Eropa barat lahir
beberapa embaga penginjilan Mennonit, yang antara laini terbentuk berkat
ketularan semangat pietisme dan Revvalisme.
Dari Belanda (dan Rusia) mengirim para penginjil mereka ke Indonesia dan
berhasil membuahkan beberapa gereja Mennonit.
Hubungan kedua gereja di Indonesia dengan saudara-saudara serumpun mereka
di Eropa maupun di seluruh dunia tetap terjalin dengan erat. Disamping dengan
MCC yang dari AS, khusus yng dengan di Eropa tercipta antara lain lewat wadah The Mennonite World Confrene. Konfrence ini berlangsung pertama kali di
Jerman tahun 1925, sedangkan kedua ’gereja Mennonit’ di Indonesia, melalui
ketua sinode masing-masing, ikut ambil bagian di dalamnya sejak konfrensi ke
lima tahun 1952, dan resmi menjadi anggota sejak 1962.
Selayang Pandang
Gereja-Gereja Mennonit di Indonesia
Pada tahun 1994 gereja-gereja
Mennonit di Indonesia boleh merayakan ulang tahunnya ke-140 bila baptisan
pertama yang di layangkan Zending Piter Jansz, utusan badan penginjilan
Mennonit , Doopsgesinde
Zendingsverreniging (DZV), tanggal 16 maret 1854 atas 5 orang pribumi di desa
Cumbring dekat Jepara dapat dijadikan tanggal kelahiran gereja-gereja ini. Malah kalau mau di hitung sejak ke hadiran
personil pemerintah Kolonial Hindia-Belanda (bahkan mungkin sudah sejak zaman
VOC) yang menganutnya, usia itu mestinya lebih panjang lagi. Sebab ada catatan sejarah, di antara
tentara-tentara Belanda yang datang ke Sumatra Barat dan utara pada tahun 1830-an untuk menumpas pasukan Paderi
di bawah Tuanku Imam Bonjol terdapat beberapa warga gereja Mennonit. Sesuai dengan semangat iman dan ajaran di
dalam gereja mereka, mereka ini menginjili dan membabtiskan beberapa orang
Batak di Tampanuli Selatan.
Badan zending DZV tersebut
dibantu oleh beberapa penginjil Mennonit dari Rusia, terutama bekerja di Jawa
Tengah bagian Utara dan di daerah Kepala burung, Irian Jaya. Beberapa diantara zendelingnya juga giat dan
berjasa dalam penerjemahan Alkitab kedalam bahasa Jawa dan Melayu (misalnya H.
Klinkert, salah seorang penerjemah Alkitab bahasa Indonesia terjemahan
lama). Jemaat-jemaat yang berhasil
didirikannya di Jawa Tengah itu sekarang berhimpun dalam dua organisasi
gereja: Gereja Injil di Tanah Jawa
(GITJ) yang berpusat di pati, yang
warga gereja terutama dari kalangan pribumi Jawa dan Persatuan Gereja- gereja
Kristen Muria (Menonnit) Indonesia (PGKMI) yang berpusat di Semarang, dengan
warga gereja sebagian besar dari kalangan Tionghoa. Sementara GITJ lebih banyak bertahan di
daerah Pati (banyak di rundung dengan sengketa intern), PGKMI sudah
’berekspansi’di luar daerah asalnya. Di
Jakarta misalnya, kita menemukan jemaat-jemaat PGKMI yang pertumbuhannya cukup
subur dan jumlahnya terus bertambah.
Sementara itu yang di Irian Jaya bergabung dalam Gereja Injili Irian
Jaya (GKI Irja). Seperti sudah di catat
, kedua gereja ini juga menjadi anggota dari The Menonnite World Conference dan menjalin hubungan dengan
berbagai lembaga Menonnit internasional, kendati hubungan itu terkadang
diwarnai dengan berbagai masalah.
Dsejak tahun 1871
sebenarnya DZV juga mengutus beberapa zending untuk meneruskan pekerjaan di
daerah Mandailing (khusus didaerah Pakantan) Tapanuli selatan. Tetapi kurang berkembang, antaran lain kerena
agama islam yang sangat kuat di sana, hasil pekerjaan mereka yang tak seberapa
itu di serahkan kepada batakmission, yaitu
bagian dari RMG (badan zending dari Jerman) yang bergiat di Tanah Batak pada
dasawarsa 1950-an beberapa dari jemaat di Tapanuli Selatan ini bergabung
membentuk Gereja Menonnit Protestan Indonesia.
Tetapi sejak 1970-an jemaat-jemaat yang kecil itu bergabung dalam Gereja
Protestan Angkola (GKPA).
Pada dasawarsa 1960-an dan
1970-an, sementara PGKMI mulai giat berekapansi ke luar daerah Muria
(persebaran di kota-kota di jawa terutama di Jakarta), GITJ juga giat
mengirimkan warganya bertransmigrasi, antara lain ke Sumatra Selatan (kecamatan
Belitang, kabupaten Ogankemering Ulu).
Jemaat-jemaat transmigrasi ini di kemal dengan keuletan mereka bekerja
dan dengan ketekuannya beribadah. Di
dalam kebaktian lingkungan yang di selenggarakan hampir tiap malam, mereka
dapat menyanyikan lagu-lagu dari kidung
pasamuwan Kristen Jawi (kidung persekutuan Kristen jawa, yang juga di gunakan
di GKI) secara’luar kepala’
dengan empat suara. Ini penulis alami
dan saksikan sendiri ketika menjalankan tugas Collegium Pastorale, semacam praktek lapangan. Belakangan ini jemaat tersebut bergabung
dengan jemaat-jemaat hasil penginjilan
danpembinaan Gereja Kristen jawa (GKJ) didalam gereja-gereja Kristen Sumatra
Bagian Selatan (GKSBS), yang baru terbentuk tahun 1987.
Pada awal pasal ini telah
di catat bahwa kedua gereja Menonnit di Indonesia ini sebenarnya tidak murni
Menonnit. Antara lain terlihat dalam
rumusan pengakuan Iman yang di buat masing-masing. Dalam rumusan pernyataan iam PGKMI yang di
sahkan sidang sinodennya pada tanggal 31
januari 1958, kita melihat bahwa sebagian besar dari ke-20 pasal isinya
merupakan saduran (terjemahan) dari pernyataan iman GCMC dan gereja-gereja
Menonnit lainnya di AS. Hal itu tidak
mengherankan karena koseptornya Herman
Tan Hao An, adalah tamatan seminari Menonnit di AS, terutama di bawah
bimbingan Profesor H.S. Bender, salah seorang teolog Menonnit yang hampir
terkemuka di abad ini. Tan Hao An baru
kembali dari AS pada akhir 1954, merupakan setu-satunya pendeta PGKMI yang
berpendidikan tinggi teologi ketika itu, dan baru di angkat menjadi ketua
sinode.
Ada satu butir yang
penting dan menarik dari pengakuan atau pernyataan iman gereja-gereja Menonnit
yang tidak terdapat dalam pernyataan iman PGKMI itu, yakni pernyataan menolak
berpartisipasi di dalam angkatan bersenjata (bagian dari sikap
nir-kekerasan). Menurut L.M. yonder
sekurang-kurangnya ada dua alasan untuk meniadakan butir-butir itu. Pertama, GITD/GITJ sudah sejak pemisahan dari
DZV tahun 1940 meniadakan butir itu dalam rumusan pernyataan imannya agar tidak
di cap sebagai pemdukung pemerintah kolonial dan penentang gerakan perjuangan
kemerdekaan. Ini juga harus
diperhitungkan PGKMI kalau tak mau di tuduh anti-nasionalisme Indonesia. Kedua, di lingkunganPGKMI terdapat kelompok
yang lebih tertarik menjejaki penyatuan dengan gereja-gereja Tionghoa lainnya,
dan karenanya berupaya mengurangi sebanyak mungkin ciri khas Menonnit. Yang terakhir ini harus betul-betul di
perhitungkan Tan Hao An kalau ia mau diterma semua kalangan di gereja itu.
Juga di dalam pernyataan
iman GITD/GITJ versi terakhir (sayang tidak di sebut tanggal pengesahannya), di
samping tidak tidak adanya butir yang berisi penolakan menjadi angkatan
bersenjata, juga tidak ditemukan butir tentang larangan bersumpah, yang memang
bisa mempersulit warganya kalau hendak menjadi pegawai negeri. Dengan kata lain, di sana-sini kedua gereja
itu sedikit-banyak memperhitungkan juga konteks dan kondisi Indonesia dalam
perumusan pernyataan imannya. Boleh jadi
partisipasi mereka di dalam DGI/PGI ikut mendorong mereka memperhatikan hal
itu. Toh L.M. Yoder menilai bahwa yang
dilakukan pemimpin PGKMI lebih banyak mencangkokan rumusan pernyataan iman
Mennonit dari luar negeri, ketimbang mendorong PGKMI bekerja keras menghasilkan
pernyataan iman yang memancar dari kehidupan dan iman gereja itu sendiri.
Mennonit dan Fundamentalisme pada Abad ke-20
Sejak awal abad ini kaum
Mennonit bergumul dengan semangat dan paham fundamentalisme. Semula, pada sekitar dua dasawarsa pertama
abad ini, kaum Mennonit melihat paham ini sejalan dengan apa yang
diyakininya. Sama dengan kaum
fundamentalis, kaum Mennonit menolak paham Modernisme. Mereka sama-sama yakin bahwa Alkitab adalah
hasil pengilhaman langsung dari Allah dan karena itu tidak mungkin mengandung
kesalahan. Tetapi sejak 1930-an banyak
pemimpin Mennonit, terutama di Amerika, melihat bahwa, sama seperti
Liberalisme, fundamentalisme juga berbeda dari – dan berbahaya bagi - keyakinan mereka. Sebab fundamentalisme sangat mendukung
individualisme, menekankan perbedaan derajat pria dengan wanita, dan mendukung
militerisme, yang semuanya bersumber dari pemahaman atas Alkitab, yang berbeda
dari kaum Mennonit. Tetapi paham
fundamentalisme tetap diminati banyak warga Mennonit. Sejak 1970-an para tokoh dan pengamat Mennonit
semakin menyadari bahwa pemahaman dan citarasa keagamaan di kalangan Mennonit
semakin beranekaragam, termasuk menyangkut paham fundamentalisme. Kaum Mennonit yang berpendidikan,
berpenghasilan baik dan berada di kota-kota besar biasanya tidak tertarik pada
paham ini, sedangkan yang kurang berpendidikan, berpenghasilan rendah dan
tinggal di luar kota banyak yang tertarik.
Bagaimana pun juga, menurut para pengamat ada sekurang-kurangnya lima
hal yang merupakan keunikan Mennonit yang bertentangan dengan fundamentalisme:
cinta damai, jatidiri di dalam persekutuan, komunalisme, saling melayani dan
tidak individualis.